Dalam khasanah adat komunitas Dayak terdapat ritual yag dinamakan tolak bala nyimah tanah. Ritual ini biasanya diadakan untuk mencegah / menolak segala musibah / bencana yang tidak di inginkan . Ritual ini di adakan terutama bila ada warga Dayak yang tertimpa musibah secara mendadak hingga meninggal. Pada tanggal 13 Oktober tahun 2002 yang lalu ritual ini dilaksanakan, dan dalam suatu kesepakatan kampung yang diadakan tidak lama setelah itu warga Dayak maupun Madura bersepakatan bahwa ritual ini akan diadakan secara rutin setiap tahun, tiap-tiap tanggal 13 Oktober yang melibatkan semua unsur masyarakat di wilayah Retok.
Selain tolak bala nyimah tanah, dalam kalender pertanian komunitas Dayak Ba’ahe terdapat upacara adat yang dinamakan balala nagari. Ritual ini diadakan secara rutin sebagai permohonan keselamatan dengan melakukan pantang keluar dari kampung dan melakukan kegiatan kerja dan kegiatan yang dapat berimplikasi pada keluarnya darah suatu makhluk (menyembelih binatang, dsb). Tahun lalu balala nagari dilaksanakan pada tanggal 07 sampai dengan 09 Juli 2003. Aturan yang muncul sebagai implikasi dari pelaksanaan ritual adat ini (misalnya larangan untuk tidak meninggalkan kampung, orang dari luar kampung untuk tidak memasuki kampung selama pelaksanaan ritual, dsb) juga diikuti oleh komunitas Madura.
Masyarakat Madura dan Dayak di Retok sebenarnya memiliki suatu pengalaman traumatik dalam sejarah relasi sosial mereka. Pada tahun 1983, seorang guru warga Retok bernama Jaelani (Dayak) terbunuh oleh orang Madura. Pada tahun tersebut di kampung-kampung lain orang Madura dan orang Dayak sedang terlibat dalam tindak kekerasan antar kelompok etnis. Namun Guru Jaelani tidak dibunuh oleh orang Madura Retok melainkan oleh orang Madura dari Desa Sungai Enau yang terletak di seberang Sungai Retok dan berjarak tempuh kurang lebih 30 menit dari Retok. Peristiwa pembunuhan tersebut dapat diselesaikan melalui adat (pembunuh harus membayar denda adat yang cukup besar karena telah menghilangkan nyawa orang untuk mengembalikan keseimbangan alam). Setelah peristiwa tersebut warga Madura di Retok sepakat untuk “memfilter” orang Madura dari manapun yang ingin bergabung dengan mereka di Retok. Orang-orang yang menurut penilaian dan rekomendasi dari pihak-pihak dalam komunitas Madura termasuk “sulit dikendalikan” atau orang-orang terpelajar dari kelompok “garis keras” tidak akan diterima untuk bergabung dengan orang-orang Madura yang telah lama tinggal di Retok.