Dr. A. Latief Wiyata
Antropolog Budaya Madura
Pada masyarakat dan kebudayaan manapun pasti dikenal apa yang disebut sebagai harga diri, baik dalam konsep individual maupun kelompok, tidak terkecuali dalam masyarakat dan kebudayaan Madura. Tulisan ini mencoba memahami dan membahas konsep harga diri dalam masyarakat dan kebudayaan Madura dengan cara antara lain melihat hubungan relasionalnya dengan beberapa peristiwa sosial budaya yang secara empirik terjadi dalam kehidupan sehari-hari orang Madura.
Orang Madura akan merasa malo atau terhina jika harga dirinya dilecehkan oleh (atau sebagai akibat dari) perbuatan orang lain. Pelecehan harga diri ini sama artinya dengan pelecehan terhadap kapasitas diri mereka. Padahal kapasitas diri seseorang secara sosial tidak dapat dipisahkan dengan peran dan statusnya (social role and status) dalam struktur dan sistem sosial yang berlaku. Peran dan status sosial ini dalam prakteknya tidak cukup hanya disadari oleh individu yang bersangkutan melainkan harus mendapat pengakuan dari orang atau lingkungan sosialnya. Bahkan pada setiap bentuk relasi sosial antara orang yang satu dengan yang lainnya harus saling menghargai peran dan status sosial masing-masing. Tapi ada kalanya hal ini tidak dipatuhi. Bagi orang Madura tindakan tidak menghargai dan tidak mengakui atau mengingkari peran dan status sosial sama artinya dengan memperlakukan dirinya sebagai orang tada’ ajhina (tidak bermakna secara sosial dan budaya) yang pada gilirannya menimbulkan perasaan malo.
Dalam bahasa Madura selain kata malo juga terdapat kata todus. Dalam bahasa Indonesia kedua kata ini selalu diterjemahkan sebagai malu. Tapi, dalam konteks kehidupan sosial budaya Madura, antara malo dan todus mempunyai pengertian yang sangat berbeda. Malo bukanlah suatu bentuk lain dari ungkapan perasaan todus. Pada dasarnya todus lebih merupakan suatu ungkapan keengganan (tidak ada kemauan) melakukan sesuatu karena adanya berbagai kendala yang bersifat sosial-budaya. Misalnya, menurut adat kebiasaan yang berlaku di Madura seorang menantu ketika sedang berbicara dengan mertuanya tidak boleh menatap wajahnya secara langsung. Semua menantu akan merasa todus jika berbicara kepada mertuanya dengan cara seperti itu. Jika hal itu dilakukan maka secara sosial menantu tersebut kemudian akan disebut sebagai orang ta’ tao atoran atau janggal (tidak mengerti etika kesopanan) sehingga menimbulkan perasaan todus (tidak tahu malu).
Dengan demikian, biasanya todus muncul dari dalam diri seseorang sebagai akibat dari tindakan dirinya sendiri yang menyimpang dari aturan-aturan normatif. Sebaliknya, malo muncul lebih sebagai akibat dari perlakuan orang lain yang mengingkari atau tidak mengakui kapasitas dirinya sehingga yang bersangkutan merasa menjadi tada’ ajhina. Orang Madura yang diperlakukan seperti itu sama artinya dengan dilecehkan harga dirinya kemudian mereka akan selalu melakukan tindakan perlawanan sebagai upaya untuk memulihkan harga diri yang dilecehkan itu. Kadangkala tindakan perlawanan atau resistensi tersebut cenderung sangat keras (dalam bentuk ekstrimnya adalah pembunuhan) tergantung pada berat ringannya pelecehan harga diri yang dialami. Suatu ungkapan yang berbunyi ango’an poteya tolang etembhang poteya mata (lebih baik mati daripada harus menanggung perasaan malo) menunjukkan indikasi tentang hal itu.