Sedangkan prasasti yang ketiga adalah prasasti Bangsacara yang terletak di Kampung Madeggan, Kelurahan Polagan, Kota Sampang. Situs tersebut ditemukan di dasar umpak atau candi belum jadi yang tertulis angka 1305 C, atau bertepatan dengan tahun 1383 Masehi.
“Konon, di daerah ini juga sudah berdiri padepokan Hindu-Budha yang kebenaran berdirinya didukung oleh pitutur atau legenda masyarakat setempat,” terangnya.
Prasasti yang keempat adalah situs Pangeran Santo Merto yang merupakan paman Raden Praseno atau Pangeran Cakraningrat I yang menjadi penguasa Madura Barat. Pada situs ini, terdapat tulisan Candra Sangkala bertuliskan huruf Hijaiyah tahun 1496 C, atau tahun 1574 Masehi.
Sedangkan situs terakhir adalah Makam Rato Ebuh yang juga terletak di Kampung Madeggan. Di situs tersebut, tertulis angka tahun Saka dan tulisan berbunyi “Naga Kapaneh Titis Ing Midi” yang dibuat pada tahun 1545 C, atau tahun 1624 Masehi yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi Kota Sampang.
Berangkat dari temuan prasasti dan situs itulah, akhirnya Pemkab Sampang menggelar Seminar Penentuan Hari Jadi Kabupaten Sampang. Yang di undang sebagai pembicara antara lain, peneliti sejarah dari Fakultas Sastra Jurusan Arkeologi Universitas Gajah Mada (UGM) Jogjakarta.
Kesimpulan seminar, situs Sumur Daksan, Buju’ Nandi, Bangsacara, dan Pangeran Santo Merto dinyatakan tidak bisa dijadikan sebagai referensi. Alasannya, tidak ada bukti atau referensi kepustakaan otentik yang mendukung.
Khusus prasasti Pangeran Santo Merto, sebenarnya disertai bukti tulisan ahli sejarah asal Belanda, HJ De Graff. Tapi, tulisan tersebut dinyatakan tidak representatif dijadikan dasar penetapan Hari Jadi Kabupaten Sampang.
“Setelah melalui adu argumentasi dan pengkajian ilmiah secara mendalam, akhirnya situs Makam Rato Ebuh yang ditetapkan sebagai acuan untuk menentukan Hari Jadi Kabupaten Sampang,” jelas Ali Daud Bey.