Peralihan kekuasaan dari Sultan Agung kepada Sultan Amangkurat ini, berimbas pada jalannya roda pemerintahan di Kerajaan Madura Barat. Mahkota kerajaan yang seharusnya diserahkan kepada Raden Nila Prawita atau Pangeran Trunojoyo, justru diserahkan kepada Pangeran Cakraningrat II.
Karena tidak terima dengan keputusan Raja Mataram Sultan Amangkurat, Pangeran Trunojoyo akhirnya melakukan pemberontakan. Konon, kepemimpinan Pangeran Cakraningrat II ini dilakukan secara sewenang-wenang, korup, dan bejat.
Merasa tidak aman dengan ancaman dan pemberontakan Pangeran Trunojoyo, akhirnya pusat Kerajaan Madura Barat dipindah dari Madeggan ke daerah Kwanyar, Bangkalan. Beberapa saat kemudian, tahta kerajaan dipindah lagi ke daerah Arosbaya, Bangkalan.
Kegigihan perjuangan Pangeran Trunojoyo akhirnya membuahkan hasil. Tidak hanya Kerajaan Madura Barat saja yang berhasil digulingkan. Tapi, tahta Kerajaan Mataram pun akhirnya berhasil direbut.
Meskipun berhasil melengserkan kekuasaan Sultan Amangkurat sebagai Raja Mataram, tapi Pangeran Trunojoyo menolak menjadi penguasa dan menduduki singgasana Kerajaan Mataram. Yang dia inginkan, hanyalah menjadi penguasa Kerajaan Madura Barat. Akhirnya, Pangeran Trunojoyo resmi dinobatkan menjadi Raja Madura Barat dengan gelar Panembahan Maduretno.
Walaupun menolak menduduki tahta Kerajaan Mataram, Panembahan Maduretno tetap membawa mahkota Kerajaan Mataram. Dia menolak menyerahkan simbol kekuasaan Kerajaan Mataram, selama Sultan Amangkurat tidak bersedia memutuskan kerjasama dengan Belanda. Setelah tuntutan itu dipenuhi, akhirnya mahkota Kerajaan Mataram pun dikembalikan.