Keduanya merupakan sahabat yang bertemu di Pulau Gili. Sumber lokal menyebutkan bahwa suksesi dari Temenggung Jaingpati, raja sebelum Raden Bugan, kepada Raden Bugan disebabkan Temenggung Jaingpati salah paham terhadap surat yang diberikan oleh Trunajaya kepadanya. Surat yang sebenarnya berisi mengenai niatan Trunajaya terhadap Raden Bugan untuk mengunjungi Sumenep, diartikan sebagai invansi politik Trunajaya menaklukan Sumenep.
Temenggung Jaingpati pun ketakutan dan memerintahkan Raden Bugan untuk menyiapkan pasukan di perbatasan antara Sumenep dan Pamekasan. Saat di perbatasan, malamnya, Raden Bugan pergi keluar dari tempat bermalam. Pada saat keluar, ia bertemu dengan Trunajaya, dan mengobrol semalam suntuk. Para pasukan di tempat bermalam ketakutan dan menganggap Raden Bugan diculik, sehingga melaporkan kepada Temenggung Jaingpati di keraton. Mendengar kabar itu, Temenggung Jaingpati ketakutan dan melarikan diri ke daerah di Sampang tanpa kembali lagi.[42] Hal ini kiranya kalau ditinjau dengan masa selanjutnya, hubungan dekat Trunajaya dan Raden Bugan merupakan titik awal perubahan corak kerajaan Sumenep, yang mulai lepas dari kekuasaan Mataram.
Berbeda dengan Temenggung Jaingpati yang ditunjuk oleh Mataram, penobatan Raden Bugan langsung dipilih oleh rakyat Sumenep dengan disaksikan Trunajaya. Digambarkan dalam satu versi bahwa Raden Bugan-lah yang membuka kran hubungan dengan VOC. Ia meminta langsung kepada VOC untuk membantu melepaskan Sumenep dari kekuasaan Mataram, sehingga memunculkan pemberontakan dari kalangan kepada Raden Bugan sebagai bentuk protes. Agak paradoks bila meninjau gambaran pengangkatan Raden Bugan oleh rakyat Sumenep yang seakan disambut gembira dengan gambaran pemberontakan yang dilakukan oleh beberapa ulama terhadap reaksi atas kebijakan Raden Bugan.
Terlepas dari itu, menurut banyak sumber, lepasnya kerajaan Sumenep dari Mataram lebih jelas pada tahun 1705. Setelah carut marut permasalahan kekuasaan Mataram, baik yang disebabkan masalah internal, seperti perpecahan kekuasaan Mataram antara Amangkurat III dan Pakubuwana I (raja Mataram pilihan VOC dengan didukung Adipati Surabaya dan Adipati Madura), maupun kerugian dari Perang Trunajaya, wilayah kekuasaan Mataram makin berkurang karena harus terpaksa diserahkan kepada VOC sebagai kompensasi atas biaya yang dikeluarkan Belanda.
Daerah-daerah yang harus diserahkan itu adalah Sumenep dan Pamekasan di Madura, Semarang dan Kaligawe di Jawa Tengah, dan batas wilayah VOC diperluas ke arah timur sampai sungai Cilosari di pantai utara serta sungai di pantai selatan.[43] Selain karena faktor perjanjian antara Mataram dan VOC, faktor pendukung lainnya yang mendorong berpisahnya wilayah Sumenep dari Mataram adalah keinginan dari masyarakat Sumenep karena merasa keberatan bila bergabung dengan Mataram. Malah Sumenep, setelah pergolakan Trunajaya usai, berusaha untuk menggabungkan wilayahnya dengan VOC. Di sinilah titik awal hubungan politik antara kerajaan Sumenep dengan Belanda. Perjanjian pada tahun 1705 itu mengandung rumusan:
“Dengan ini yang Mulia secara hukum melepaskan dan menyerahkan ke dalam perlindungan Kompeni daerah-daerah Sumenep dan Pamekasan yang terletak di ujung timur Pulau Madura”
Pada tahun 1743, Madura Barat pun masuk ke dalam kekuasaan VOC pula. Kemudian pada tahun 1745, setelah VOC memulihkan ketertiban di Madura, Madura dibagi dalam tiga kabupaten, yang pada sampai paruh abad ke-19 tetap tidak berubah: Madura Barat, Pamekasan, Sumenep.[44] Madura pada umumnya, termasuk juga Sumenep, sebenarnya memiliki perbedaan ekologi yang signifikan dengan pulau Jawa. Untuk itu daerah Sumenep sesungguhnya relatif tidak penting bagi VOC, karena tanahnya cukup kering.
Namun, penguasaan atas Sumenep dinilai cukup penting karena merupakan salah satu rute perdagangan vital menuju timur Indonesia. Posisi Sumenep dianggap VOC strategis untuk mengamankan jalur perdagangan. Kalau benar seperti itu, alasan VOC menguasai Sumenep lagi-lagi disebabkan oleh kepentingan ekonomi. Kontrak yang dilakukan antara kerajaan Sumenep dan VOC, sangat menguntungkan VOC. Meskipun VOC memberikan otonomi pemerintah kepada bupati Sumenep, namun Sumenep harus memberikan upeti kepada VOC, yang disebut dengan Kontingenten.
Menurut kontrak tanggal 30 April 1751 Sumenep harus mengirimkan:
- 80 koyan kacang hijau
- 700 taker minyak kelapa
- 30 pikul gula siwalan
- 20 pikul benang kapas yang halus sesuai dengan contoh
- 30 pikul sejenis daging kering
- 000 ekor sejenis ikan kering.
Upeti yang diberikan oleh Sumenep kepada VOC sangat menggiurkan. Selain upeti berupa hasil bumi, VOC juga mendapatkan upeti berupa tenaga petani untuk mengikuti semacam wajib militer, agar sewaktu-waktu dapat digunakan bila VOC membutuhkan. Upeti ini dinamakan dengan upeti hidup atau kontingen hidup. Upeti-upeti ini merupakan kebijakan baru dari VOC dan pembeda dari sistem pemerintahan sebelumnya, yaitu Mataram. Digambarkan oleh Huub de Jonge bahwa upeti-upeti ini merupakan beban yang sangat berat bagi penduduk setempat. Pada masa krisis VOC, permintaan upeti, khususnya kontingen hidup, mengalami peningkatan permintaan yang signifikan. Apalagi pada prosesnya sering terjadi penerimaan tambahan dari pihak VOC yang bersifat memaksa.
Dalam memberlakukan Sumenep, VOC memberikan perlakuan berbeda dari wilayah lain, yaitu pemberian otonomi dalam penentuan pejabat pemerintahan yang harus diganti. Kiranya hak otonomi inilah yang menjadi daya tarik kuat mengikat jalinan hubungan Sumenep dengan VOC, akan tetapi apa yang disebut dengan otonomi bukan berarti mengandung makna bentuk pemerintahan yang tunggal. Banyak kebijakan yang dikeluarkan oleh raja Sumenep harus sepengetahuan VOC. Misalnya, bila pemerintahan Sumenep ingin berhubungan dengan wilayah lain tidak boleh tanpa sepengetahuan VOC. Selain itu, ada beberapa kewajiban yang diberikan pihak VOC kepada Sumenep, seperti kewajiban raja Sumenep untuk pergi ke Batavia atau Semarang sekali dalam setahun untuk menghadap Gubernur Jenderal memberikan laporan dan hasil upeti. Meskipun demikian, raja tidak dibebankan oleh VOC mengenai cara mengumpulkan upeti-upeti itu, namun sebelum bulan November, raja sudah harus datang menghadap ke pulau Jawa dengan perahunya sendiri.
___________________________
42 Iskandar Zulkarnain, Op.Cit., Hal. 90.
43 Aminuddin Kasdi, Perlawanan Penguasa Madura atas Hegemoni Jawa: Relasi Pusat Daerah pada Periode Akhir Mataram (1726-1745), Yogyakarta: Jendela, 2003, hal: 168.
44 Huub de Jonge, Op.Cit., hal. 50. [Lontar Madura]
Tulisan bersambung:
- Masa Kejayaan Kerajaan Sumenep Pra Islam
- Raja-raja Sumenep yang Berkuasa Masa Pra Islam
- Peperangan Periode Koloneal di Tanah Sumenep
- Kerajaan Sumenep Masa Periode Islam
- Masa Keemasan Zaman Sultan Abdurrahman
- Pengaruh Islam dalam Sistem Birokrasi Pemerintahan Sumenep
- Hubungan Kerajaan Sumenep dengan Belanda
- Pengawasan VOC Tidak Seketat Madura Barat
- Konflik yang Mengakibatkan Keruntuhan Kerajaan Sumenep