Kesatuan dibangun melalalui narasi bangsa di mana cerita, citra, symbol dan ritual mempresentasikan makna “bersama” ke bangsaan (Bhabha, 1990). Identitas nasional adalah identifikasi ter hadap representasi pengalaman bersama dan sejarah yang ditu turkan melalui berbagai kisah, sastra, budaya dan media. Narasi kebangsaan menekankan tradisi dan kontiunitas bangsa sebagai sesuatu yang ada dalam sifat dasar berbagai hal bersamaan dengan mitos dasar asal usul kolektif. Pada gilirannya narasi kebangsaan mengasumsikan dan memproduksi keterkaitan antara identitas nasional dengan identitas kultural (dalam hal ini tradisi budaya rakyat). Dari sini dapat dikatakan keterpaduan sosial (sosial cohesion) yang membentuk identitas nasional dari tetap hidupnya identitas kultural masing-masing etnisnya sangat penting sebagai filter dalam menghadang dampak globalisasi dengan terpaan budaya globalnya (Barker, 2005:203)
Identitas nasional adalah cara untuk menyatukan keberagaman budaya, seperti yang dikatakan Hall (1992: 297)
“Alih-alih memikirkan budaya nasional sebagai satu ke-satuan, kita cenderung memikirkannya sebagai perang-kat diskursif yang menampilkan perbedaan sebagai ke-satuan atau sebagai identitas. Budaya nasiobal bersing-gunan dengan pembagian dan perbedaan internal dan hanya disatukan melalui penggunaan bentuk kekuasan budaya yang berbeda-beda”
Stigma Budaya Madura
Ketika kita mendengar kata Madura, yang terbayang di benak khalayak adalah bayangan tentang karakter unik, carok, sikap yang keras keras,logat yang khas, usaha besi tua, potong rambut, dan semacamnya. Kesan tentang Madura yang keras dan kasar ini sulit dihilangkan bila orang melihat orang Madura di perantauan Anggapan tersebut tidak selamanya benar.
Istilah unik menurut Awi (2001) menunjuk pada pengertian leksikal bahwa entitas etnik Madura merupakan “komunitas tersendiri” yang mempunyai karakteristik berbeda dengan etnik lain dalam bentuk maupun jenis etnografinya. Keunikan budaya Madura itu tampak tidak sejalan dengan kuatitas komunalnya yang menyebar ke berbagai daerah di Nusantara, yakni 9,7 Juta Jiwa (7,5%), menempati peringkat kuantitas etnik terbesar setelah Jawa (45%) dan Sunda (14%) (Kompas,24 Sept. 2005). Walaupun kedua konsepsi itu tampak tidak sejalan tetapi realitasnya mencerminkan kondisi itu.
Menurut Wiyata (2010) citra masyarakat Madura yang negatif tidak dapat dilepaskan dari peranan kelas menengah Madura yang kadang malu mengakui identitas etnisnya. Dalam pandangan Wiyata, warga kelas bawah yang menekuni pekerjaan kasar dan keras di luar Madura tidak bisa disalahkan dengan stigma tersebut. Mereka memang masyarakat yang kurang pendidikan. Dalam setiap masyarakat yang kurang pendidikan, pergaulan mereka sehari-hari sering memakai bahasa mapas (bahasa yang kasar pula). Ironisnya, kata-kata kasar itu terimplementasikan dalam tindakan nyata. Semua itu sudah menjadi budaya mereka, sehingga terlalu sulit untuk mengubah dalam waktu dekat.
Dalam sebuah penelitian tentang stereotipe etnis, Warnaen (2002) mendefinisikan stereotipe etnis sebagai kepercayaan yang dianut bersama oleh sebagian besar warga suatu golongan etnis tentang sifat khas berbagai kelompok etnis lain, termasuk etnis mereka sendiri. Dalam kehidupan sosial, stereotipe etnis muncul dari proses sosial yang panjang dan kompleks. Menurut Suwarsih, cara terbaik untuk menjernihkan cara pandang masyarakat terhadap stereotipe etnis suatu kelompok adalah dengan menghimpun informasi yang bersifat objektif sebanyak mungkin, untuk kemudian disebarkan.
Salah satu stigma tentang orang Madura adalah mengenai Madura cepat tersinggung, pemarah, suka berkelahi, dan beringas. Stigma dan stereotipe tentang suatu hal muncul dan bertahan ter utama karena miskinnya informasi dan klarifikasi. Menurut Rifai (2007) citra negatif orang Madura ini malah sering diperburuk sendiri oleh sejumlah orang Madura yang kurang berpendidikan dengan cara lebih menonjolkan kenegatifannya secara sengaja dengan maksud menakut-nakuti orang lain demi tujuan yang tak terpuji.
Mengutip pendapat Zubairi (2013) stigma negatif tentang Madura disebabkan karena dua factor. Pertama, orang Madura sendiri memang terperangkap dalam cara pandang untuk bersikap keras dan berani, seperti yang dicitrakan. Citra keras dan berani segera meledak ketika menghadapi masalah. Dengan demikian seorang Madura yang yang low profile dan lembut, terkadang dipertanyakan ke-Madura-annya. Faktor kedua, orang luar menyandera orang Madura untuk tetap terpenjara dalam citra keras yang sudah terbentuk. Orang Madura yang sudah telanjur dicap keras, nama etnisnya dicatut oleh orang dari suku lain, misalnya Jawa, untuk menakut-nakuti atau bahkan untuk berbuat kejahatan.
Sulitnya menghilangkan stigma buruk tadi juga ditambah factor keengganan orang Madura yang sukses di perantauan mengakui identitas etnisnya sebagai orang Madura. Factor ini yang memperkuat stigma dan anggapan orang luar tentang Madura. Padahal menurut Wiyata (2010) kekuatan dari kelas menengah Madura di perantauan inilah yang sebenarnya dapat merubah stigma negatif Madura. Akan tetapi hal ini menjadi sulit tercapai bila mereka sendiri selaku orang Madura tidak mau mengakui etnisnya yang andap asor tersebut. Berkaitan dengan stereotype etnis Madura, perlu upaya sebagai klarifikasi atau penjernihan tentang beragam stereotype negatif tersebut. Stigma negatif mengenai orang Madura ini mau tidak mau mempengaruhi persepsi orang luar Madura terhadap masyarakat Madura.
—————————————
Tulisan bersambung:
Identitas Kultural Masyarakat Madura: Tinjauan Komunikasi Antar Budaya (1)
Identitas Kultural Masyarakat Madura: Tinjauan Komunikasi Antar Budaya (2)
Identitas Kultural Masyarakat Madura: Tinjauan Komunikasi Antar Budaya (3)