Syaf Anton wr
Bangsa kita sebenarnya juga memiliki potensi cita-cita, berupa cita-cita sosial dan cita-cita individual. Cita-cita bangsa Indonesia sekarang tersimpan dalam sastra tutur berupa ungkapan-ungkapan luhur yang jumlahnya ribuan, yang tersimpan dalam sastra tulis maupun sastra lisan.
Dalam kesempatan ini saya mencoba merefleksi kembali sastra yang tumbuh dari ungkapan-ungkapan lama, yang mungkin juga telah terlupakan, seperti ungkapan kearifan lokal “anḍãp asor” yang punya makna kita harus rendah hati, bukan rendah diri. Ungkapan ini bisa menjadi tolok ukur dalam menanamkan etika dan estetika, termasuk didalamnya tentang kesantunan, kesopanan, penghormatan, dan nilai-nilai luhur lainnya. Anḍãp asor dalam pemahaman budaya Madura berimplementasi pada “raddhin atèna, bãghus tèngka ghulina” (cantik hatinya, baik tingkah lakunya).
Demikian pula dalam pergaulan sehari-hari, salah satu kunci untuk menciptakan nilai-nilai kebersamaan seperti dicontohkan dalam saloka; “bilâ cempa palotan, bilâ kanca tarètan,” (kalau beras cempa adalah ketan, kalau teman adalah saudara), demikian pula untuk menjaga keutuhan persabatan perlu dijaga “mon bâ’na etobi’ sakè’ jhâ’ nobi’ân orèng” (apabila kamu dicubit sakit, jangan mencubit orang).
Tentang keseimbangan hidup misal, bahwa kebenaran hidup harus dimulai dari diri sendiri. “Jâghâ paghârrâ dhibi’ jhâ’ parlo ajhâgâ paghârrâ orèng”, (jaga pagar sendiri, tidak perlu menjaga pagar orang lain) karena itu hidup harus hati-hati agar tidak menyakiti orang lain, sebab “jhilâ reya ta’ atolang” (lidah ini tak bertulang). Kalau kita kaji sebenarnya kehidupan ini seperti “odi’ è dhunnya akantha nètè obu’” (hidup di dunia ini seperti meniti rambut), sedikit saja salah melangkah kita tergelincir dalam kenistaan.
Demikian pula tentang tatakrama atau budi pekerti disebut “orèng andhi’ tatakrama rèya akantha pèssè singgapun, èkabelenjhâ’a è dhimma bhai paju,” (orang yang mempunyai tatakrama seperti uang Singapura/dollar, dibelanjakan dimanapun akan laku). Ungkapan ini tentu sangat relevan disinergikan pada kondisi jaman sekarang ini, dengan makin menguatnya budaya luar yang menyusup ketengah-tengah kita melalui perangkat “budaya dollar” tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi kita, bagaimana kita bisa bertahan dan mampu menanamkan budi pekerti yang kini jelas-jelas telah tercerabut dari akarnya.
Tulisan bersambung