Bambang Wibisono
“Mon sèyang dhâddhi ghâmparan, mon malem akeppè’ lakè”. Artinya, kalau siang menjadi alas kaki untuk membantu cari nafkah suami, dan kalau malam sebagai “penghimpit” suami. Pada waktu siang han mereka bekerja, dan pada waktu malam ‘menggigit’ dan menghimpit. Bila soal seks pada umumnya perempuan adalah objek laki-laki, menjadi wadah, yang menerima dan yang menunggu, tapi pada perempuan Madura kaidah tersebut tidak bertaku.
Berkaca pada Perempuan Madura
OIeh karena sifatnya yang suka bermigrasi, orang Madura – termasuk para perempuannya – juga ada di mana-mana. Mereka tidak hanya tinggal di wilayah pulau Madura, tetapi tinggal di luar pulau Madura. Sebagaimana diketahui orang-orang Madura banyak berekspansi ke sejumlah wilayah, misal di beberapa kota di pulau Jawa, banyak tinggal perempuan migran asal Madura. Meskipun sudah berbaur dengan para perempuan setempat, tidak sulit untuk mengidentifikasi perempuan Madura. Misalnya, pada para perempuan Jawa, membawa barang bawaan dilakukan dengan cara menggendong atau menaruh barang bawaan di punggung atas tengah. Kadang-kadang dilakukan dengan cara menaruh barang bawaan di punggung sebelah kiri atau kanan, dan kadang-kadang dilakukan dengan cara menjinjing pada kedua atau satu tangan.
Baja juga: Wanita Madura, Dimata Laki-laki Madura
Tapi bagi para perempuan Madura melakukan hal itu dengan cara menyunggi atau menaruh/menjunjung barang bawaan di atas kepala, seberat apapun barang yang dibawa. Dengan demikian, jika di suatu tempat – di luar pulau Madura sekalipun- jika terdapat sekian puluh perempuan, dan kemudian diminta untuk mengidentifikasi mana di antara sekian orang tersebut perempuan Madura, maka mudah untuk membedakannya. Kasih saja meréka barang bawaan lalu suruh mereka membawa barang bawaan tersebut ke suatu tempat, maka perempuan Madura akan terindentifikasi dengan cara membawa barang di atas kepala. Cara membawa tersebut kemudian disebut nyongghuy atau nyo’on.
Pada masa penjajahan dulu banyak perempuan berjualan dengan menjajakan cara keliling dari tempat (kampung) ke tempat lainnya. Mereka membawa barang dagangan dengan cara menjinjing atau mencangking. Di antara banyak pedagang tersebut ternyata penjaja perempuan Madura kerap dipanggil dan dihentikan, yang selanjutnya tentu menjadi pelanggan tuan-tuan dan nyonya Belanda, karena pedagang yang membawa barang dagangan dengan cara meletakkan jajanannya di atas kepala (nyongghuy, nyo’on, nyunggi) dianggap lebih aman. Mengapa demikian? Melihat kenyataan bahwa posisi kue atau jajanan diletakkan diatas dinilai lebih bersih dari debu atau tetesan keringat penjualnya.
Nah, dari pengalaman ini maka para pedagang yang lain pun ikut membawa barang bawaan mereka dengan cara nyunggi. Begitulah, para perempuan Madura mengikuti cara mereka, dan akhirnya menjadi kebiasaan. Perilaku perempuan Madura di sektor informal dapat diperhatikan pada perilaku perempuan Madura yang berprofesi sebagai pedagang asongan yang menjajakan kebutuhan dapur (sayur, ikan dan lainnya) atau blijhâ/mlijhâ (mlijo: Jawa), sebutan untuk para perempuan Madura yang berprofesi sebagai penjual sayur-mayur yang dijajakan secara berkeliling dari rumah ke rumah.
Profesi sebagai blijhâ/mlijhâ beberapa tempat di pulau Jawa – di daerah Mataraman disebut bakul èthèk atau bakul èklèk – banyak dijalankan oleh perempuan Madura. Kehidupan para perempuan mlijhâ sudah dimulai sejak tengah malam.
Keperkasaan perempuan Madúra yang bekerja di sektor-sektor informal dapat dilihat, misalnya di sektor pertanian, pabrik pengeringan tembakau, di perkebunan, apalagi di pasar-pasar tradisional, tidak jauh berbeda dari gambaran tersebut. Mereka berangkat kerja pada pagi hari dan pulang pada sore hari. Bahkan jika ada kerja lembur mereka pulang sampai malam hari. Jam kerja mereka rata-rata 11 jam per hari. Setidaknya separuh dan kegiatan yang menghasilkan uang di sektor informal di pedesaan atau di perkotaan, dilakukan oleh para perempuan. Para perempuan Madura tidak hanya perkasa di sektor informal di wiIayah Madura, tetapi juga di tempat-tempat lain di sekitarnya.