Hal ini dapat dipahami, karena demikian tata nilai yang berIaku dalam masyarakat Madura. DaIam tradisi Madura berIaku kebiasaan bahwa semua anggota keluarga harus bekerja mencari nafkah dan bersama-sama mengurus rumah tangga. Untuk menyambung hidup semua anggota keluarga harus bekerja daribpagi sampai petang. Kerja produktif yang hampir tidak terpisahkan antara pekerjaan sosial dan pekerjaan rumah tangga.
DaIam rangka memenuhi kebutuhan hidup mereka harus bersedia bekerja apa saja, dan mereka harus bersedia bekerja dalam kondisi apapun, serta di sektor manapun. Dalam hal bekerja, orang Madura termasuk para perempuannya, relatif tidak memilih-milih jenis pekerjaan. Mereka mau melakukan pekerjaan apa saja, yang penting dapat membantu memecahkn masalah ekonomi rumah tangga. Jika ada orang atau para perempuan Jawa, menjadi pemulung atau menjadi tukang parkir dalam menjalankannya perlu mempertimbangkannya beribu kali, tidak demikian halnya pada perempuan Madura. Hal ini terutama untuk para perempuan Madura yang bermigrasi di di luar pulau Madura.
Etos kerja perempuan Madura relatif lebih tinggi dari pada para perempuan lain di sekitarnya. Itulah sebabnya, ketika BeIanda memerlukan banyak tenaga kerja untuk membuka lahan perkebunan di Jember pada tahun 1878, Belanda mendatangkan tenaga kerja orang Madura, termasuk para perempuannya.
Data historis menunjukkan bahwa sekitar tahun 1878-an Belanda berupaya mengubah hutan di Jember menjadi daerah perkebunan. Untuk keperluan tersebut Belanda banyak mendatangkan tenaga kerja dari daerah lain di sekitarnya, termasuk tenaga kerja asal Madura. Tenaga kerja tersebut diperlukan oleh Belanda untuk bekerja sebagai tenaga kasar di perkebunan. Pekerjaan yang mereka lakukan antara lain, sebagai pembabat hutan, penanam dan penyiram tanaman tembakau, dan pengangkut hasil panen tembakau dari ladang ke gudang. Ada beberapa alasan orang Belanda mendatangkan orang Madura sebagai pekerja perkebunan di Jember. Di samping etos kerja mereka yang terkenal bagus, upah mereka di tanah kelahiran mereka, di PuIau Madura, murah dan mereka sudah terbiasa menanam tembakau.
Di tèmpat tinggal mereka yang baru, di Jember, orang-orang Madura membentuk komunitas dengan pola permukiman seperti ketika mereka berada di Putau Madura. Meskipun mereka sudah terpengaruh oleh modernisasi, sampai sekarang poLa permukiman, tata cara hidup, dan kebiasaan orang Madura di Jember (termasuk wilayah tapak kuda: Probolinggo, Pasuruan, Situbondo dan Bondowoso) banyak yang masih mirip dengan pola permukiman, tata cara hidup, dan kebiasaan orang Madura di Pulau Madura. Kemiripan tersebut, misalnya, tampak pada bentuk rumah, suasana perkampungan, bahasa yang mereka gunakan, kesenian, dan kebiasaan-kebìasaan mereka.
Bagi masyarakat Madura, keluarga bukan hanya tempat untuk reproduks, tetapi adalah unit ekonomi dan pembentukan angkatan kerja. Rumah adalah unit ekonomi terkecil masyarakat, di samping sebagai tempat menangani masalah reproduksi, sosialisasi, dan seksualitas. Rumah juga sebagai tempat memenuhi berbagai kebutuhan, yaitu kebutuhan sandang, pangan dan papan. Itulah sebabnya, perempuan Madura, – kecuali yang priyayi, – lebih bebas bekerja. Mereka tidak merasa bersalah meninggalkan keluarga dan rumah tangga. Tinggi rendahnya martabat tidak ditentukan oleh penampilan tetapi ditentukan oleh kedudukannya dalam proses produksi, cara produksi, dan pembagian produksi.
Bagi asyarakat Madura status laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga sama saja. Mereka harus sama-sama mengurus masalah rumah tangga mereka. Masalah ekonomi dipecahkan bersama-sama, masalah pendidikan anak, misalnya, juga diatasi bersama. (Lontar Madura)
Tulisan bersambung: