Sebagaimana masyarakat dari kebudayaan lain, tanpa ada maksud mengabaikan motivasi lain, motivasi orang Madura merantau tidak bergeser jauh dari dua faktor utama yaitu: ekonomi dan sosial. Artinya, hampir dapat dipastikan tujuan orang Madura merantau untuk meningkatkan taraf hidup yang pada gilirannnya akan diperoleh suatu peningkatan status sosial. Sebagai perantau, mau tidak mau mereka dituntut dapat membangun suatu interaksi sosial dengan penduduk lokal. Tulisan ini mencoba mengeksplorasi bagaimana para perantau Madura membangun interaksi sosial sesuai dengan unsur-unsur primordial Madura. Sebab, dalam realitas kehidupan sehari-hari, unsur-unsur primordial menjadi pengikat utama dalam membentuk suatu identitas etnik. Unsur-unsur ini meliputi antara lain genealogi dan kekerabatan (kinship), sistem kepercayaan (religi dan agama), bahasa atau dialek serta kebiasaan-kebiasaan sosial lainnya (Geertz: 1981; Glaser dan Moynihan: 1981).
Dalam kehidupan sosial perantau Madura unsur-unsur primordial ini akan menjadi penanda ciri atau karakter tersendiri yang terwujud dalam sikap dan perilaku budaya mereka di perantauan. Tegasnya, unsur-unsur primordial yang dimiliki oleh etnik Madura selain akan menjadi unsur pembeda identitas diri, juga menjadi referensi ketika mereka harus membangun interaksi sosial dengan kelompok etnik lokal. Dalam sistem interaksi sosial, perilaku budaya perantau Madura akan mengalami “perbenturan” atau “persinggungan” dengan unsur-unsur primordial penduduk lokal sebagai penanda ciri atau karakter mereka. Dalam konteks ini, menurut pengamatan saya, perantau Madura dalam membangun interaksi sosial dengan penduduk lokal (setempat) akan menghadapi paling tidak tiga alternatif kemungkinan strategi kultural yaitu, 1) puritan dalam arti tetap mempertahankan identitas etnik, 2) adaptif yaitu tetap mempertahankan identitas etnik, namun pada saat yang bersamaan mulai “masuk” dalam identitas etnik lokal (setempat), 3) eskapistik atau melucuti identitas etnik.
Dilihat dari faktor agama, hampir dapat dipastikan semua perantau Madura memilih alternatif strategi puritan, tetap mempertahankan agamanya (Islam) selama hidup di rantau. Dalam perspektif antropologis, bagi orang Madura, agama Islam bukan saja sebagai referensi dalam berpikir, bersikap, bertindak dan berprilaku yang bersumber dari nilai-nilai Ilahiyah, melainkan sudah demikian melekat sebagai salah satu elemen terpenting identitas etnik. Relasi antara agama Islam dan identitas etnik orang Madura sangat kuat sehingga merupakan suatu ketidak laziman, bahkan kejanggalan, jika orang Madura menganut agama selain Islam. Bila hal ini terjadi, secara ekstrim, biasanya yang bersangkutan akan dianggap sebagai “bukan orang Madura” lagi.
Dalam konteks ini mudah dipahami ketika orang Madura membangun interaksi sosial di perantauan, terutama menyangkut masalah pernikahan (antaretnik), sangat mempertimbangkan faktor agama daripada faktor lain. Artinya, para perantau Madura hampir tidak mungkin menikah dengan penganut agama selain Islam. Namun demikian, di luar masalah pernikahan antaretnik, orang Madura dapat membangun interaksi dengan penduduk lokal secara baik. Misalnya, dalam aktifitas perdagangan mereka dapat melakukan transaksi bahkan membanhun mitra tanpa merasa terhalang oleh perbedaan keyakinan agama yang dianut.
Sekedar sharing info buku hasil penelitian saya tentang Madura Perantauan yg bertajuk: “Madura Perantauan: Kompleksitas dan Harmoni yang Tak Tuntas” terbitan Intelegensia,, Malang (cet.I, Januari 2016). Semoga bermanfaat.