Sebagai penganut agama Islam yang taat tidak membuat perantau Madura menjadi eksklusif. Bahkan kehadiran orang Madura justru lebih mewarnai nuansa keislaman penduduk lokal. Hal ini terlihat dengan jelas di kawasan “Tapal Kuda” hampir semua pemuka-pemuka agama Islam berasal dari etnik Madura (bandingkan, Ahmadi: 2003).
Dalam kebudayaan masyarakat Madura, ikatan kekerabatan mencakup sampai empat generasi ke atas (ascending generations) dan ke bawah (descending generations) dari ego, sehingga ikatan persaudaraan antarkerabat menunjukkan keeratan (intimacy) sangat kuat. Selain itu, dikenal tiga kategori sebagai oreng lowar (orang luar) atau banne taretan (bukan saudara”) sanak keluarga atau kerabat (kinsmen), yaitu taretan dalem (kerabat inti atau core kin), taretan semma’ (kerabat dekat atau close kin), dan taretan jau (kerabat jauh atau peripheral kin). Di luar ketiga kategori ini disebut Dalam kenyataannya, meskipun seseorang sudah dianggap sebagai oreng lowar tetapi hubungan persaudaraan bisa jadi lebih akrab daripada kerabat inti, misalnya karena adanya ikatan perkawinan atau kin group endogamy.
Meskipun demikian, hubungan atau interaksi sosial yang sangat akrab dapat pula dibangun oleh para perantau Madura dengan orang-orang di luar lingkungan kerabat, tanpa memperhatikan asal-usul kelompok etnik. Biasanya hubungan atau interaksi sosial itu didasarkan pada adanya kesamaan dalam dimensi kepentingan di bidang ekonomi dan politik. Bila kualitas hubungan sampai mencapai tingkatan yang sangat akrab, mereka akan dianggap dan diperlakukan sebagai keluarga atau kerabat (taretan) atau dalam ungkapan Madura disebut oreng daddi taretan (orang luar dianggap dan diperlakukan sebagai kerabat). Dalam prespektif antropologis, orang Madura mampu membentuk ikatan “kekerabatan semu” (pseudo kinship).
Dengan demikian, kuatnya ikatan kekerabatan dalam kehidupan orang Madura – tidak terkecuali di perantauan – tidak selalu dapat dimaknai sebagai cerminan dari sikap eksklusif. Sebaliknya, unsur kekerabatan orang Madura merupakan salah satu modal budaya yang mengandung makna inklusifitas sehingga memberi ruang untuk membangun dan mengembangkan interaksi sekaligus integrasi sosial dengan kelompok etnik lain. Dalam konteks ini, para perantau Madura memilih alternatif strategi adaptif. Namun ada kalanya, mereka yang sudah melakukan perkawinan antar etnik terperangkap pada alternatif startegi yang eskapistik.
Sekedar sharing info buku hasil penelitian saya tentang Madura Perantauan yg bertajuk: “Madura Perantauan: Kompleksitas dan Harmoni yang Tak Tuntas” terbitan Intelegensia,, Malang (cet.I, Januari 2016). Semoga bermanfaat.