Islam di Madura dan Kebangsaan

Kontekstualisasi Islam di Indonesia dengan demikian menemukan relevansinya dalam mengakar nya Islam itu sendiri dalam kebudayaan-kebudayaan lokal melalui asimilasi dan akulturasi yang saling menghidupi, memperkaya, memperdalam dan memperluas sehingga saling menguntungkan. Dengan kebudayaan Islam yang terekspresikan dalam kebudayaan-kebudayaan lokal yang melimpah yang berarti meresapkan nilai-nilai moral, religius dan spiritualnya kedalam kebudayaan lokal itu sendiri di satu sisi dan menyertakan kebudayaan ” asli ” Islam ke dalamnya di sisi lain, Maka Kebudayaan Islam Indonesia adalah wujud kebudayaan yang sedemikian kayanya dan secara keseluruhan akan menjadi kebudayaan ” Baru ” dengan maknanya yang relevan bagi komunitas yang religius masyarakat muslim terbesar di dunia ini. Dengan orientasi kebudayaan yang secara bersama-sama mengaitkan keislaman, kedaeraha dan keindonesiaan itulah masa depan Indonesia akan hadir sebuah wujud kebudayaan yang kokoh dengan kekayaan yang melimpah.

Dari sudut pandang kesenian dan simbolik, pengalaman Islam di Madura menunjukkan bahwa belum tuntasnya proses integrasi keislaman dalam ke madura an di tengah relatif ” tuntas ” – nya islamisasi Madura sendiri bagaimanapun sedikit banyak menyisakan sekat psiko-sosial yang kerap menginterupsi keutuhan entitas dan identitas suatu komunitas budaya di susatu daerah. Ditarik ke aras kebangsaan, pengalaman itu merupakan sebuah dinamika sosial yang sedang ber proses mendewasakan dan mematangkan diri. Identitas kebangsaan pada akhirnya sangat ditentukan oleh dialog kreatif antara sumber nilai keagamaan dan kedaerahan yang secara bersama-sama dapat mengusung keindonesiaan sebagai suatu entitas dan identitas budaya yang majemuk.

Keindonesiaan dengan demikian sejatinya berakar pada, dan dibangun diatas, sumber-sumber primordial dan tradisional yang tersedia dan secara terbuka berproses untuk saling mematangkan diri melalui dialog budaya kreatif lagi produktif

Catatan akhir :

  1. Bahkan tidur pun orang Madura tidur dengan ” Cara Islam “. Bagi orang Madura tidur adalah ” mati sementara “. Oleh karena itu, posisi tidur harus sama dengan posisi ketika mayat orang Madura dikuburkan. Posisi tidur seperti itu untuk mengingatkan orang Madura sebagai penganut agama islam bahwasannya suatu saat mereka pasti akan mati.
  2. Di awal tahun 1970 di Madura memakai pantolan/ celana panjang terasa asing secara sosial, sementara memakai peci dan sarung sangat dianjurkan, bahkan suatu keharusan dalam melaksanakan shalat dan acara-acara keagamaan. Shalat memakai  pantolan/ celana panjang bukan saja asing melainkan dianggap keliru secara sosial. Dalam batas yang lebih longgar hal itu masih terasa sampai sekarang di banyak daerah di Madura

Sumber : Oreng Sampang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.