Oleh: Prof DR Buya Hamka, Ulama dan Penulis Tafsir Al Azhar*
Pulau Madura yang kecil itu, yang hanya berbatas belasan mil laut saja dari pantai Surabaya, adalah sebuah pulau yang mempunyai “pribadi” sendiri. Madura tidak dapat dipisahkan lagi dari Islam, walaupun diakui bahwa banyak penduduknya karena buta huruf dan buta agama tidak tahu benar hakikat ajaran Islam itu. Jiwanya mirip dengan jiwa suku Bugis, sama-sama berani mengharung lautan besar, mengadu untung di antara alunan ombak dan gelombang.
Tatkala pada tanggal 25 Nopember 1959 saya sempat menziarahi Madura kembali, sesudah ziarah pertama 25 tahun silam (1934) nampak bahwa tradisi-tradisi yang ditanamkan Islam sejak zaman bahari masih banyak yang belum dapat dibongkar oleh tradisi-tradisi moderen pengaruh Barat, yang di daerah lain sudah banyak luntur. Misalnya saja tidak memakai peci atau kopiah jika sembahyang di mesjid masih akan mendapat teguran keras, mungkin akan dilempari batu!
Satu istiadat yang utama pada beberapa kampung, ialah mendirikan langgar kepunyaan keluarga di samping rumahtangga, walaupun dari rumah itu masjid tidak begitu jauh! Langgar kepunyaan keluarga, yang didirikan di samping rumahtangga, adalah tempat bersembahyang keluarga bersama- sama. Dan juga tempat bermusyawarat, memperkatakan urusan kekeluargaan dan apabila tetamu datang dari jauh, tidaklah akan kekurangan pondokan tempat bermalam, sebab langgar ada!
Kawan-kawan yang menyambut saya di Madura berkata dengan penuh kebanggaan, bahwa inilah satu-satunya pulau di Indonesia yang agamanya tidak bercampur! Pulau Sumatera – kata kawan itu – masih mempunyai daerah Kristen, yaitu di Batak! Pulau Sulawesi masih mempunyai daerah Kristen, yaitu di Minahasa dan Toraja! Pulau Kalimantan bagian pedalaman (Dayak) telah jadi Kristen! “Tetapi pulau kami 100% Islam!” kata kawan itu.
Memang! Pulau Madura telah menerima Islam sejak Islam masuk ke tanah Jawa! Sebelum pun runtuh Majapahit, Madura termasuk daerah-daerah Pesisir, atau Mancanegara yang mendapat Islam sebagai sagu jiwa di dalam membebaskan diri daripada kekuasaan Patih Gajah Mada! Tatkala Majapahit berkuasa, segala sesuatu diatur dari pusat, dan daerah hanya menjadi alas kaki saja! Segala pujaan diberikan kepada sang Ratu di Majapahit. Shri dan Syakti Majapahit tidak dapat ditantang mata, tidak dapat dilawan hati!
Tersebarnya Islam di Pesisir Jawa Timur, dimulai dari Jaratan, Giri, Gresik dan Tuban, langsung ke Madura dan akhirnya menjadi kenyataan dengan berdirinya Kerajaan Demak, adalah tantangan rohani yang telah berubah menjadi bebas merdeka karena ajaran Tauhid! Untuk menentang ajaran mendewakan raja yang telah berurat berakar dalam masyarakat Indonesia umumnya dan Pulau Jawa khususnya sejak zaman Mataram pertama Kalingga, Singosari, sampai kepada Majapahit!
Sudah sejak dari zaman dahulu penduduk Madura, pulau kecil yang didinding lautan itu, mengharung ombak gelombang, menempuh lautan besar dengan perahu layarnya! Sudah sejak dahulu anak Madura dengan perahunya itu berlayar ke Malaka, Kerajaan Islam.
Bila hari telah malam, dari pantai Madura jelas kelihatan pelita-pelita dipasang di mesjid Giri. Laksana Musa melihat api di puncak Tursina, demikianlah anak Madura melihat “api”, terutama dalam malam-malam likuran bulan puasa! Api apakah itu? Itulah api petunjuk hidayat Islam yang telah mulai diajarkan oleh Syekh ‘ Ainul Yaqin, Sunan Giri yang pertama.
Sebab itu Madura mendapat Islam yang mula-mula adalah daripada pembawanya yang mula-mula pula. Sebab itu usia Islam di Madura sudah setua masuknya Islam ke Jawa! Cuma. sejarah Madura tidak mencatat nama dari salah seorang Wali. Karena Islam di Indonesia lebih pesat dan mendalam jika disiarkan oleh orang-orang yang tidak dikenal, daripada nama-nama yang mentereng.
Tatkala Kerajaan Islam pertama, Kerajaan Demak berdiri dengan tidak ragu-ragu lagi Madura menggabungkan diri dalam perjuangan Demak! Perjuangan Demak amat berat. Pertama melawan sisa Majapahit, kedua melawan sisa Kerajaan Medang Kemulan.
Pengaruh Islam lebih kuat di Pesisir sampai sekarang, karena sisa perjuangan Demak. Dan mulai saja Demak berdiri (1520), Malaka telah direbut oleh Portugis dan Portugis telah berkuku di sana. Islam yang baru tumbuh di Jawa terjepit di antara ajaran Hindu pusaka Majapahit dan ajaran Kristen bawaan Portugis!
Di Jawa Timur masih berdiri Kerajaan Supit Urang yang beragama Hindu. Tatkala Sultan Terenggano naik takhta Kerajaan, ‘ meneruskan rencana datuk neneknya memperluas kuasa Demak ke Jawa Timur dan ke Jawa Barat. Terenggano adalah seorang sultan yang pintar dan banyak anak perempuannya. Masing-masing anak perempuannya dikawinkan -dengan pahlawan Islam. Seorang puterinya dikawinkannya dengan Syarif Hidayatullah, yang bergelar Sunan Gunung Jati, bangsa Said keturunan Aceh (Pasai). Dan menantu ini disuruhnya menyiarkan Islam di Jawa Barat, sampai dapat mendirikan Kerajaan Banten dan Cirebon dan dapat mendirikan kota Jakarta (Jaya Karta).
Seorang lagi menantunya Pangeran Langgar, pahlawan Madura! Nama kecilnya tak diingat orang lagi, dan dia pun keturunan orang biasa saja, sebagai juga Gajah Mada di Majapahit. Tetapi dalam gelar resminya “Pangeran Langgar” sudah nampak “siapa” dia. Seorang santri yang shaleh, hidup bertafakkur dalam langgar, berjiwa Tauhid yang tinggi. Dan Tauhid apabila telah tertanam dalam dada, tidak ada tempal merasa takut lagi, kecuali kepada Allah!
Sebagai seorang pemuda Islam yang ingin memperdalam ilmu pengetahuannya, dia pergi ke Kudus, belajar kepada Syekh Ja’far Shadiq, yang lebih dikenal dengan panggilannya “Sunan Kudus”. Dan ketinggian budi anak Madura ini, kesantriannya dan gejala semangat agamanya, menyebabkan dia dikenal di istana Demak. Sultan Terenggana melihat ada sesuatu yang diperlukan dari anak muda ini, sehingga dia diambil menjadi menantu baginda dan diberi gelar Pangeran!
Cuma seorang menantu Terenggano yang tidak memenuhi harapannya, yaitu Adiwijoyo Bupati Pajang. Menantu inilah kelak yang akan memindahkan kekuasaan dari Demak ke Pajang. Dan dari Pajang ini pulalah kelak kekuasaan itu akan dirampas pula oleh Ki Gede Pamanahan dibawa ke Mataram.
Sultan Terenggana tewas dalam memimpin pertempuran hendak menaklukkan Pasuruan yang masih beragama Hindu. Di Demak terjadi perebutan kuasa. Pangeran Langgar berhak menjadi raja di Demak, tetapi dia tidak datang ke Demak, sehingga terbuka kesempatan bagi Adiwijoyo mengambil kekuasaan dari keturunan Sunan Prawoto dan membanuhnya.
Terkait: Penyiaran Islam di Madura