Cuma persahabatan dan relasi dua etnis ini sudah berlangsung sejak lama. Dalam konteks perang melawan penjajah Belanda ada dua tokoh beda etnis yang bersekutu, pangeran Trunojoyo Madura dan Karaeng Galesong Makassar, yang begitu ditakuti oleh Belanda dan sekutunya Amangkurat II. Kapal barang Belanda yang melintasi selat Madura menuju Makasar atau Kalimantan sering dirampas oleh pasukan dua pahlawan ini. Di mata Belanda tentu dua pahlawan ini dianggap “perompak”. Persis seperti pejuang Palestina yang disebut “teroris” oleh Israel.
Ada pendapat yang menarik dari Ahmad Baso, penulis buku produktif yang menekuni kajian Islam Nusantara dalam sebuah diskusi di kantor PCNU Sumenep, pertengahan 2014 bahwa, orang Bugis jika ingin belajar etika kekuasaan datang ke Sumenep sementara orang Madura jika mau belajar soal melaut tentu belajar kepada orang Bugis. Makanya dua etnis ini dikenal sebagai pelaut sejati, hingga detik ini.
Melihat posisi Pulau Giliyang yang berada di ujung timur kabupaten Sumenep -persisnya di sebelah timur Kecamatan Dungkek -sangat mungkin disinggahi oleh etnis Bugis yang melintas melalui selat Madura. Di sebelah timur Giliyang adalah pulau Sepudi yang dalam sejarah perkembangan Islam di Madura disebut daerah pertama dimana proses Islamisasi terjadi. Selat Madura diyakini sangat sibuk dan ramai sebagai perlintasan transportasi laut yang menghubungkan utamanya Jawa dan Nusantara bagian timur.
Melihat tahun wafat Daeng Mushalli 1214 H atau 1793 M besar kemungkinan beliau hidup di zaman kepemimpinan Asiruddin atau Panembahan Sumolo dan dikenal juga Pangeran Notokusumo I (1762-1811), Raja Sumenep yang menggagas pembangunan Masjid Jamik Sumenep dengan gaya arsitektur kosmopolit: Arab, India, China, dan tentu saja Madura. Arsiteknya seorang cucu generasi pertama etnis tionghoa di Sumenep yang lari akibat huru–hara etnis di Semarang pada tahu. 1740 M. Nama Arsitek ini adalah Lauw Piango.
Suatu saat saya berharap bisa melacak dan menulisnya secara lebih serius jejak bugis (termasuk etnis lain) di Madura. Ini penting untuk melampaui kajian Madura saat ini yang selalu dikerdilkan dan dibekap dalam fokus kemaduraan, bukan ditempatkan dalam jaringan Islam Nusantara. Daeng Mushalli bisa menjadi petunjuk bagaimana persidangan relasi antar etnis terutama Bugis terjadi di Madura. Fakta kecil ini makin menguatkan bukti bahwa tesis “imagined community”-nya Ben Anderson atas terbentuknya konstruk kebangsaan kita makin tak menemukan relevaninya
tabe mohon dibedkan bugis dan makassar karna mereka memiliki kerajaan yg berbeda serta sejrh dan drtan karna mereka masing” suku tersendiri, karna jika menyamakan dan mngtkan bugis kemudian menyngkutkan dengan laskar makassar dri kerajaan gowa itu keliri jika mngtkn hnya bugis karna mereka dipelopori oleh suku makassar dlm memerangi voc. Bhkan pendiri kec makassar di jakarta memiliki landsan dan sejrah serta tokoh yg sam yg dikenal daeng dan datuk sma hnya Pembawa islam di autralia timor leste dipelopori suku makassar dri kerjaan gowa