Kadipaten Sumenep (atau sering dikenal sebagai Kadipaten Madura), adalah sebuah monarki yang pernah menguasai seluruh Pulau Madura. Pusat pemerintahannya berada di Kota Sumenep sekarang. Selama bertahun-tahun, kadipaten ini diperintah oleh bangsawan elit Madura, Dinasti Cakraningrat. Status monarki turun menjadi kepangeranan ketika masa pemerintahan Sultan Agung dari Mataram. Kemudian, kedudukan Dinasti Cakraningrat hanya sebagai regent di Madura di masa pemerintahan Belanda. Peninggalan Kadipaten Sumenep yang terkenal dan masih dapat disaksikan sampai saat ini adalah Keraton Sumenep dan Masjid Jami’ yang berada di pusat Kota Sumenep.
Seperti halnya keraton-keraton di Jawa, budaya halus dan tata krama yang sopan serta bahasa sehari-hari yang santun juga menjadi identitas budaya, baik di seputar lingkungan Keraton Sumenep saja maupun di lingkungan masyarakat Sumenep pada umumnya. Walaupun Keraton Sumenep sudah tidak berfungsi lagi sebagai istana resmi Adipati Sumenep ataupun pusat pengembangan budaya Madura, tetapi kebiasaan peninggalan masa kejayaan Kadipaten Sumenep masih sangat terasa, tak heran jika banyak orang menjuluki Sumenep sebagai ‘Solo of Madura’.
Sejarah
Sejarah Sumenep zaman dahulu diperintah oleh seorang Raja (Adipati). Ada 35 Raja yang telah memimpin Kadipaten Sumenep. Dan, sekarang ini telah dipimpin oleh seorang Bupati. Ada 14 Bupati yang memerintah Kabupaten Sumenep. Mengingat sangat keringnya informasi/data yang otentik seperti prasati, Pararaton, dan sebagainya mengenai Raja Sumenep maka tidak seluruh Raja-Raja tersebut dapat terekspose satu persatu, kecuali hanya Raja-Raja yang menonjol saja popularitasnya.
Kurang diketahui bagaimana sejarah Kadipaten Sumenep, yang semula merupakan sebuah daerah yang mendapat pengaruh Hindu pada masa Kerajaan Majapahit, kemudian diperintah oleh para Adipati yang beragama Islam, dan Islam menjadi agama resmi kerajaan. Adipati Sumenep terakhir adalah Kanjeng Tumenggung Ario Prabuwinoto, yang memerintah hanya selama tiga tahun.