Oleh : Muhammad Habibie *
Historiografi
Candi Borobudur sebagai warisan nenek moyang Bangsa Indonesia didirikan oleh Dinasti Syailendra pada Abad IX. Sebagai warisan Benda Cagar Budaya keberadaannya dilindungi oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992.
Pada dinding Candi Borobudur terdapat relief-relief yang berisi ajaran dan pesan luhur yang masih relevan sampai saat ini. Bernet Kempers, arkeolog Belanda berpendapat bahwa ungkapan-ungkapan pada relief banyak yang berhubungan langsung dengan keadaan di Jawa dan tempat lainnya di Nusantara.
Beberapa relief yang dipahatkan di dinding Candi Borobudur, menggambarkan alat angkut berbentuk kapal berjumlah 10 buah yang terdiri dari 6 kapal besar dan 4 kapal kecil. Perbedaan antara kedua jenis kapal tersebut terletak pada penggunaan tiang layar atau cadik.
Sejarawan Belanda, van Der Heide mengklasifikasikan tipologi kapal atau perahu berdasarkan tiang yang terpasang. Pertama, perahu dayung tanpa tiang. Kedua, perahu bertiang tunggal tanpa cadik. Ketiga, perahu bertiang tunggal tanpa cadik dengan tiang yang terdiri atas dua buah kaki. Keempat, perahu bertiang tunggal dengan cadik. Kelima, perahu bertiang ganda dengan cadik dengan kemampuan jelajah tinggi dan mampu memuat puluhan penumpang.
Kesepuluh kapal digambarkan sedang berlayar dengan anak buah kapal yang sedang aktif mengendalikan kapal dan berpenumpang. Berdasarkan atas intrepretasi penampilan kapal-kapal yang ada diperkirakan merupakan kapal perniagaan.
Rekonstruksi Kapal Borobudur
Sejak berdirinya Republik Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 agustus 1945, sudah diadakan 2 kali upaya membangun kembali / rekonstruksi Kapal Borobudur, yang merupakan replika kapal layar yang terpahat pada relief dinding candi Borobudur.
Rekonstruksi pertama dilakukan pada tahun 1992, diprakarsai oleh seorang warga Negara Jepang bernama Yoshiyuki Yamamoto. Yamamoto sangat takjub melihat relief kapal yang terpahat pada dinding Candi Borobudur dan berhasrat ingin mewujudkannya secara nyata. Setelah kembali ke Jepang dan menawarkan gagasannya kepada beberapa pengusaha di Jepang akhirnya Yamamoto mendapatkan sponsor untuk merekonstruksi Kapal Borobudur.
Yamamoto memilih Kampung Bira di Sulawesi Selatan sebagai tempat pembuatan Kapal Borobudur. Yamamoto mengetahui bahwa Kampung Bira merupakan sentra industri kapal kayu di sulawesi dan terdapat nelayan tradisional yang mampu membuat kapal jelajah yang kokoh dan stabil.
Yamamoto memilih tipologi kapal kelima dari klasifikasi kapal van Der Heide, yaitu perahu atau kapal bertiang ganda dengan cadik dengan kemampuan jelajah tinggi dan memuat puluhan penumpang sebagai kapal Borobudur yang akan direkonstruksi. Setelah Kapal Borobudur ini selesai dibangun, selanjutnya kapal tersebut dilayarkan oleh Yamamoto ke Jepang melalui Filipina selama 2 bulan dengan membawa 11 orang Anak Buah kapal (crew), 5 orang diantaranya warga negara Jepang dan 6 orang lainnya adalah nelayan bugis dari Kampung Bira.
Sesampainya di Osaka diadakan galadiner untuk menyambut kedatangan Kapal Borobudur dan dihadiri pula oleh Duta Besar Republik Indonesia untuk Jepang. Kini Kapal Borobudur yang dinaiki oleh Yoshiyuki Yamamoto ini disimpan di Museum Maritim Osaka, Jepang.
Rekonstruksi kedua dilakukan pada tahun 2003 yang lalu dalam even Ekspedisi Kapal Borobudur. Ekspedisi Kapal Borobudur diprakarsai oleh Philip Beale, mantan anggota Angkatan Laut Kerajaan Inggris yang terobsesi dengan jalur kayu manis sejak melihat relief kapal layar kuno di dinding Candi Borobudur pada 1982.
Dalam pembuatan Kapal Borobudur, Philip Beale dibantu oleh Nick Burningham, seorang arkeolog maritim berkebangsaan Australia dan H. Ass’ad Abdullah, seorang nelayan tangguh dan pembuat kapal asal Pagerungan, Sapeken, Sumenep, Madura yang memiliki pengalaman membuat 40 kapal layar selama hidupnya.
Nick Burningham juga mengambil tipologi kapal kelima, yaitu perahu / kapal bertiang ganda dengan cadik dengan kemampuan jelajah tinggi dan mampu memuat puluhan penumpang sebagai Kapal Borobudur. Pertimbangan ini diambil Nick Burningham berdasarkan bahwa kapal berkapasitas 15 orang penumpang dan memuat sekitar 20 – 30 ton barang dan persediaan makanan agar dapat mengarungi “Rute Kayu Manis” (The Chinnamon Route). Rute Kayu Manis merupakan rute pelayaran eksotis pelaut nusantara membawa rempah-rempah dari Indonesia menuju Afrika.
Pembuatan Kapal Borobudur dilakukan di Pulau Kangean yang terletak sekitar 60 mil (sekitar 90 Km) sebelah utara daratan Bali, tepatnya di desa Pagerungan Kecil, Sapeken, Sumenep, Jawa Timur. Kapal tersebut mulai dibangun pada tanggal 20 januari 2003 dan diturunkan ke air pada tanggal 26 mei 2003, serta pemasangan cadik pada tanggal 11 juni 2003.
Penggerak utama menggunakan layar tanjak yang merupakan layer tradisional khas nusantara. Kapal dibuat dengan teknologi tradisional dan tanpa menggunakan paku dan besi. Komponen utamanya terdiri atas 7 (tujuh) jenis kayu local, yang meliputi:
• Kayu Ulin (Eusideroxylon gwagerri);
• Kayu Bungor (Lagerstroemia speciosa);
• Kayu Kesambi (Schleichere oleosa);
• Kayu Jati (Tectona grandis);
• Kayu Kalimpapa atau Kayu Laban (Vitex gofassus);
• Kayu Bintagor (Calophyllum blancoi);
• Kayu Nyamplong (Calophyllum inophyllum)
Dengan bahan dan teknologi tersebut diperkirakan kapal akan dapat bertahan sampai sekitar 30 tahun.
Setelah selesai dibangun, Philip Beale melayarkan Kapal Borobudur dari Indonesia menuju Ghana (Afrika Barat) dengan membawa 15 orang Anak Buah Kapal (crew) yang merupakan international crew dari berbagai Negara seperti : Iran, Tanzania, Australia, Afrika Selatan, Amerika, Inggris dan Indonesia. Perjalanan Kapal Borobudur saat itu menempuh jarak 11.000 mil.
Kini Kapal Borobudur yang dinaiki oleh Philip dan kawan-kawan disimpan di “Museum Samudraraksa” yang terletak di pelataran Candi Borobudur, Magelang. Samudraraksa adalah nama resmi Kapal Borobudur yang diberikan oleh mantan Presiden Megawati Soekarnoputri. Bagi siapa saja yang datang ke museum ini dan berniat untuk naik dan masuk ke dalam Kapal Borobudur, akan dikenakan biaya Rp. 100.000,00 per kepala.