Contoh lain dapat dihadirkan atas perilaku unik (absurditas-etnografi) orang Madura. “Seorang pemuda Madura datang dari pelosok desa hendak nonton sepak bola ke Stadion 10 November Surabaya. Saat akan menyeberang naik Ferry, tiket yang dibelinya diminta petugas, disobek menjadi dua, sobekan kecil dikembalikan sedangkan sobekan besar diambil petugas itu. Melihat perilaku petugas Ferry itu, pikirannya galau dan tidak menentu.
Dia kembali untuk mem-beli lagi 2 karcis sekaligus: 1 lembar diberikan kepada petugas Ferry sedangkan satu lembar sisanya disembunyikan di dalam saku celananya untuk menyelamat-kan sobekan petugas. Dengan perasaan tenang dan hati yang ternteram, dia melangkah mantap… menaiki dek kapal Ferry, untuk menyeberang…”Carok sesungguhnya merupakan sarkasme bagi entitas budaya Madura.
Dalam sejarah orang Madura, belum dikenal istilah carok massal sebab carok adalah duel satu lawan satu, dan ada kesepakatan sebelumnya untuk melakukan duel. Malah dalam persiapannya, dilakukan ritual-ritual tertentu menjelang carok berlangsung. Kedua pihak pelaku carok, sebelumnya sama-sama mendapat restu dari keluarga masing-masing. Karenanya, sebelum hari H duel maut bersenjata celurit dilakukan, di rumahnya diselenggarakan selamatan dan pembekalan agama berupa pengajian.
Oleh keluarganya, pelaku carok sudah dipersiapkan dan diikhlaskan untuk terbunuh.Banyak orang mengartikan bahwa setiap bentuk kekerasan, baik berakhir dengan kematian atau tidak, terutama yang dilakukan orang Madura, itu carok. Padahal kenyataannya, tidaklah demikian. Carok selalu dilakukan oleh sesama lelaki dalam lingkungan orang-orang desa. Setiap kali terjadi carok, orang membicarakan siapa menang dan siapa kalah.