Kabar tentang keberhasilan Islamisasi Madura dapat kita saksikan saat ini, mulai dari identitas fisik hingga tata perilaku masyarakat setempat. Ditengah keterbelakangan ekonomi, hampir diseluruh pelosok pedasaan Madura berdiri masjid masjid yang mewah. Bahkan identitas keislaman kini menjadi salah satu cara masyarakat untuk menaikkan status sosial mereka. Orang orang yang bergelar haji, bagi masyarakat Madura disamping sebagai upaya menunaikan pesan pesan Islam, pun juga sebagai prestis yang akan dia dapat dilingkungannya.
Keberhasilan Islam juga dapat kita saksikan melalui pandangan orang madura untuk mewajibkan anaknya menjalani pendidikan agama melalui pondok pesantren. Sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Madura untuk memberikan pendidikan, khususnya pendidikan agama yang diberikan lewat pondok pesantren, yang diasuh oleh para kyai. Namun dalam perkembangannya kyai tak semata mata berkutat pada persoalan keagamaan.
Lambat laun masyarakat memberikan porsi yang lebih kepada kyai untuk terlibat pada persoalan persoalan sosial hingga politik. Tak mengherankan jika dalam banyak kasus para kyai menjadi “broker” kerbijakan didaerahnya. Setiap pejabat daerah yang hendak mengeluarkan kebijakan tertentu, maka telah menjadi kebiasaan bagi pejabat yang bersangkutan untuk memberikan slabet (uang terima kasih) kepada para kyai kharismatik guna mendapatkan “restu” (baca; legitimasi). Disinilah kyai mendapatkan peran sentralnya sebagai kelas sosial yang begitu tinggi. Tak mengherankan jika banyak kalangan di Madura untuk merapat ke kyai guna mendapatkan pengakuan sosial yang tinggi pula.
Kalau pada masa orde baru partisipasi politik para kyai direpresentasikan dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) hingga partai ini merebut kemenangan di Madura, jauh melampaui partai “resmi” penguasa politik saat itu, yakni Golkar. Salah satu alasan pembangunan di Madura mengalami ketertinggalan adalah Golkar tak pernah memenangkan suaranya dalam setiap pemilu di daerah ini.