Kini di jaman reformasi, hingar bingarnya politik juga terjadi di Madura. Partai partai yang berbasis Islam tradisionalis seperti PKB dan PPP menjadi kekuatan politik dominan yang berkuasa di empat kabupaten di Madura. Begitu dominannya kekuatan Islam tradisonalis (baca: Nahdlatul Ulama) telah menjadi kekuatan potensial untuk digerakkan menjadi politik dukung mendukung yang begitu ampuh guna meraup kursi kekuasaan.
Bahkan kyai kini telah berkembang menjadi politisi yang begitu bergairah dalam mendendangkan nada nada kekuasaan. Sehingga tak mengherankan jika kemudian perlaku politik kyai menjadi dua sisi mata uang yang sulit dipisahkan, namun saling berbeda haluan. Disatu sisi, kyai dan pondok pesantren menjadi arena kultural yang mengusung misi besar agama, pada saat yang sama mereka bergumul dengan ruang politik guna mengokohkan kuasanya secara formal. Kasus di Bangkalan memperlihatkan bagaimana keterwakilan politik di DPRD begitu didominasi kalangan santri dan kyai, bahkan kepemimpinan daerah (baca; bupati) juga masuk dalam genggaman kyai yang dimotori oleh Bani Kholil.
Perwajahan Islam yang digerakkan oleh para kyai lewat pondok pesantren yang bertebaran di seluruh pelosok Madura tidak lagi menjadi sub kultur yang bersanding secara egaliter dengan warna warna lokal “yang lain”, tetapi sebaliknya menjadi kultur dominan yang kerapkali dipribumisasikan dengan berbagai corak lokal yang terlebih dulu ada.
Akibatnya corak corak lokal “yang lain” itu selalu dipersepsi sebagai sesuatu yang salah dan secara halus harus di-Islam-kan. Karakter “yang lain” itu dianggap sebagai karakter yang tidak mencerminkan pesan pesan Islam, dan telah menjadi kewajiban Islam untuk merubahnya. Menjadi pertanyaan kita adalah benarkah “yang lain” itu tidak memperoleh ruang untuk tampil dengan wajahnya yang asli? Bagaimana wajah “yang lain” itu tetapsurvive melangsungkan tata cara sosialnya ditengah rimbunya akar akar Islamisasi yang membatasi ruang gerak mereka, bahkan setiap saat dapat menjerat mereka dalam bahasa Tuhan?
Disalin dari majalah Ngaji Budaya (Puspek Averroes dengan Yayasan Desantara)
Tulisan bersambung:
- Ke(blater)an: Sebuah Konstruk Lokal yang Tersisa, baca:
- Blater Sebagai Sosok “Kesatria Lokal”, baca:
- Tradisi Blater Tak Bisa Ditinggalkan, baca: