DISKEBURA; Sarana Afirmasi Nilai Kebudayaan
Di bagian penutup ini, penulis mencoba menawarkan suatu alternatif solusi dalam menyelamatkan keutuhan nilai yang dikandung dari kebudayaan masyarakat di Madura. Sebab, metode tanpa gerakan praksis sama halnya hanya ‘mengukir di atas air’; manfaatnya tidak akan dirasa. Untuk menyiasatinya, guru penulis pengajar sosiologi (Bapak Damanhuri, M. Ag.) pernah menjelaskan tentang saluran-saluran perubahan sosial (avenue or channel social of change), yaitu: lembaga kemasyarakatan (social institution) Dalam social institution ini, yang menempati posisi tertinggi adalah lembaga pemerintahan yang bergerak di bidang pembangunan masyarakat.
Oleh karena itu, jika di Kabupaten Sumenep didirikan lembaga kemasyarakatan bernama DISPARBUD (Dinas Pariwisata dan Kebudayaan) yang—menurut hemat penulis—gerakannya kurang dirasa secara luas karena hanya bergerak di bidang penyuluhan aspirasi bagi masyarakat tentang bagaimana mengadakan sebuah acara yang berkaitan dengan pariwisata dan budaya. Maka, di Madura setidaknya juga harus didirikan lembaga kemasyarakatan yang bernama DISKEBURA (Dinas Kebudayaan Madura). Hal ini penulis anggap penting untuk direalisasikan, sebagai bentuk keperihatinan pemerintah kepada kebudayaan Madura yang kini mulai tergilas zaman.
Dengan didirikannya DISKEBURA, setidaknya ada beberapa misi yang perlu direalisasikannya: pertama, mencari dan kemudian menetapkan kebudayaan Madura yang dinilai unik dan dapat menjadi ikon bagi keberlangsungan masyarakat. Ini adalah langkah pertama dalam menegaskan kebudayaan-kebudayaan, utamanya mengenai nilai-nilai ashlah dan unik yang terkandung di dalamnya.
Kedua, meneliti akar sejarah muculnya semua kebudayaan yang lahir dari masyarakat Madura. Upaya ini mengindikasikan adanya penemuan nilai-nilai yang ada dalam kebudayaan tersebut. Kemudian, setelah semua nilai kebudayan itu ditemukan, maka harus diabadikan, baik melalui buku sejarah maupun papan kebudayaan yang harus ada dalam kantor DISKEBURA.
Ketiga, sosialisasi kebudayaan pada masyarakat luas. Ini bisa melalui channel-channel TV (semisal Madura Channel, JTV dsb.) dan koran-koran (semisal Radar Madura). Tujuan dari sosialisasi ini adalah untuk menggugah kesadaran masyarakat akan arti penting mempertahankan dan menyelamatkan kebudayaan yang ada di Madura dari gempuran arus globalisasi yang makin mencekik.
Solusi mendirikan sebuah lembaga kemasyarakatan (DISKEBURA) yang khusus bergerak di bidang afirmasi dan pengabadian nilai kebudayaan Madura, sebenarnya merupakan mimpi penulis yang bisa dianggap “liar”. Akan tetapi entah kenapa di benak penulis, jika hal ini direalisasikan maka akan tercipta masyarakat yang berbudaya, berkarakter, berpolaprilaku yang sesuai dengan koridor agama dan sosial, dan tidak mudah goyah karena gempuran “zaman baru” yang diproduksi oleh era globalisasi. Wallahu A’lam bisshawab.
_________________________________
Globalisasi adalah sebuah istilah yang lahir dari dinamika international yang mengindikasikan adanya integrasi secara global dalam bidang ekonomi, budaya dan politik (lihat: Andi Widjajanto, Transnasionalisasi Masyarakat Sipil, (Yogyakarta: 2007), hal. 01
Kebijakan global menurut Chadwick Alger berintikan kepada dua definisi nilai global, yakni ‘perdamaian’ dan ‘pembangunan’ yang secara luas konsekuensinya adalah kondisi ketiadaan rasa damai (peacelessnes). Ibid. hal. 06
Guru materi Etika penulis di MA 1 Annuqayah (K. M. Mushthafa, M.A.) pernah menjelaskan bahwa kebudayaan Barat (utamanya yang diproduksi dari Amerika) sangat berlawanan dengan semangat kebudayaan lokal, terutama dalam hal norma agama di Madura yang mayoritas masyarakatnya menganut agama Islam.
Lebih jelasnya, tuntaskan pada artikel di web online, Nilai Etika dan Estetika dalam Kebudayaan, http://kurnirasari95.blogspot.com/2008/10/nilai-etika-dan-estetika-dalam.html
Keempat kandungan kebudayaan ini, adalah sesuai dengan kebudayaan dan karakter masyarakat Madura yang pada umumnya dipraktikkan dengan cara spiritual oleh kyai wara’ di Madura. (lebih jelas tuntaskan pada: Anonim, http://cyber07130003.wordpress.com/2009/02/06/apakahcarok-budaya-orang-madura, Simbol Carok dan Fakta)
Nampah Cangkem (bahasa Madura) adalah meletakkan tangan di bawah dagu dan, biasanya, matanya menatap kosong sehingga terkesan seperti orang yang kehilangan ghiroh dalam menjalani kehidupan. Ini sebenarnya bukan kebudayaan, tetapi salah satu tradisi yang memiliki makna filosofis jika dikaitkan denga kehidupan masyarakat Madura.
Kalau nampah cangkem, memang kenapa?!
Lebih jelas, tuntaskan pada: Budiono, MA, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: 2005), hal. 19. Tidak jauh berbeda dengan M. Dahlan Al-Barry dalam Kamus Ilmiyah Populer, hal. 9 yang menjelaskan bahwa afirmasi adalah penegasan; peneguhan dan pengakuan.
Keris merupakan salah satu kebudayaan Madura yang, entah kenapa, kurang diminati oleh mayoritas masyarakat dibandingkan dengan Kerapa Sapi, Sapi Sono’ dan lainnya. Parahnya, masyarakat Madura melihat kebudaan hanya dari aspek gerak, bukan pada pengaktualisasian suatu kebudayaan yang sebenarnya juga memiliki nilai ashlah bagi kehidupan. Sehingga akan memberikan dampak psikogis bagi para “produsen” keris—terutama karena tuntuan ekonomi.
Mengenai keris Madura sebenarnya ada perbedaan dari keris Jawa umumnya. Perbedaan itu terlihat pada nilai estetika yang ada pada kedua keris (Madura dan Jawa) itu. Lebih jelas, tuntaskan pada: RB. Ahmad Ramadan, Keris dalam Budaya Masyarakat Madura di artikel online http://www.facebook.com/topic.php?uid=218949248212&topic=10865
Pojja bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh kesaktian dan kegunaan yang dipunyai oleh besi yang akan dibuat keris. Tentunya melalui kepercayaan sepenuhnya kepada Tuhan. Ibid.
Penyempuhan adalah memasukkan racun ke dalam keris dan sang empu mengatakan sepatah-dua patah kata, seperti: selamat, jaya, kaya dan lain sejenisnya. Hal ini bertujuan agar keris itu berguna bagi para pemakainya seperti kata-kata yang digunakan oleh sang empu. Ibid.
Kesatria adalah sebuah keperibadian yang dimiliki seorang—yang sejajar dengan seorang pahlawan karena prilakunya yang baik dan menjadi “pioner” di tengah-tengah masyarakat. Kesatria juga bisa diartikan dengan pembela yang berjiwa besar dan berbudi luhur. Masyarakat kesatria bukan hanya terpaku pada masyarakat grass roots, tetapi juga pemerintah sebagai agen sentral.
Arit adalah pisau yang berbentuk melengkung yang sering dipakai oleh masyakat petani untuk memotong rumput di sawah.
Agar lebih jelas, tuntaskan pada: Soedjatmko dan Bambang Triono, berjudul CeluriiiiiiiTTTTTT, di alamat ini: http://maduracenter.wordpress.com/2007/07/14/celuriiiiiiitttttt/
Misalnya di perguruan Joko Tole. Celurit tidak sekadar digunakan untuk melumpuhkan lawan. Tetapi lebih dari itu, seorang pemain silat harus memiliki batin yang bersih dengan berlandaskan agama. Ibid.
Paterongan adalah nama sebuah desa yang terletak di Kecamatan Galis, sekitar 40 kilometer dari Kabupaten Bangkalan. Op. Cit.
Tombuk adalah suatu bantalan yang digunakan untuk menempa besi setelah dipanaskan dan menjadi lempengan berbentuk celurit.
Not. Id.
Dikutip secara bebas dari artikelnya Soedjatmoko dan Bambang Triono, berjudul: CeluriiiiiiiTTTTTT, di alamat ini: http://maduracenter.wordpress.com/2007/07/14/celuriiiiiiitttttt/
Menurut Soerjono Soekanto (1982), lembaga kemasyarakatan (social institution) adalah himpunan daripada norma-norma dari segala tingkatan yang pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat. Lembaga-lembaga kemasyarakatan (meliputi pemerintahan, organisasi keagamaan, organisasi ekonomi, organisasi pendidikan dan keluarga) sebenarnya merupakan sistem yang saling terintegrasi. Lebih terang, tuntaskan pada: Atik Catur Budiati, Sosiologi Kontekstual, (Surabaya: 2009), hal. 33
____________________
Daftar Bacaan
Buku:
Bouvier, Helene. 2002. Lebur! Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Budiati, Atik Catur. 2009. Sosiologi Kontekstual. Surabaya: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.
Dahlan Al-Barry, Muhammad. 2005. Kamus Ilmiyah Populer. Surabaya: ARKOLA.
Kuntowijoyo. 2006. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Liliweri, Alo. 2002. Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: LKiS.
Ma, Budiono. 2005. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Karya Agung.
Widjajanto, Andi. 2007. Transnasionalisasi Masyarakat Sipil, Yogyakarta: LKiS.
Website:
http://kurnirasari95.blogspot.com dengan judul artikel: Nilai Etika dan Estetika dalam Kebudayaan
http://cyber07130003.wordpress.com dengan judul artikel: Simbol Carok dan Fakta
http://www.facebook.com dengan judul artikel: Keris dalam Budaya Masyarakat Madura, yang ditulis oleh RB. Ahmad Ramadan.
http://maduracenter.wordpress.com dengan judul artikel: CeluriiiiiiTTTTTT, yang ditulis oleh Soedjatmoko dan Bambang Triono.
Tulisan ini diikutkan pada lomba menulis artikel yang diadakan oleh panitia Sains Education Community (SECO) Universitas Wiraraja, dan menjadi Finalis dalam lomba tersebut.
Source: nusasastra.blogspot.com
Tulisan bersambung: