Kebudayaan Madura, Tak Ramah Perempuan?

Harapan orang tua terhadap masa depan anak sesuai dengan jenis kelamin

 

Laki-Laki

Perempuan

Jadi orang yang mempunyai tanggung jawab terhadap tugas dan kewajibannya Berbakti kepada orang tua dan suami
Bertanggungjawab terhadap keluarga Menjadi ibu rumah tangga yang baik
Penerus perjuangan untuk mengembangkan masyarakat Menjadi orang yang berakhlak dan berprilaku baik
Bisa meringankan beban orang tua Menjaga kehormatan pribadi dan keluarga dan patuh kepada suaminya
Menjadi pegawai negeri Menjadi anak yang pandai
Menjadi guru Menjadi perawat dan membantu masyarakat
Menyelesaikan sekolah lalu setelah itu mondok

Saya meyakini, harapan di atas hampir menjadi memori kolektif masyarakat Madura yang direproduksi secara terus-menerus ketika “membayangkan” anak perempuannya. Dengan demikian, domistifikasi peran perempuan sebenarnya sudah ada sejak dalam pikiran atau dalam “angan-angan social” masyarakat Madura.

Ucapan “jha’ gitenggi asakola, dagghi’ badha e dapor keya” yang dialamatkan bagi perempuan bukan sekedar ucapan yang tidak memiliki efek kuasa apa-apa. Ia sebenarnya pantulan  dari kuatnya budaya patriarkhi masyarakat Madura yang menekan perempuan untuk tetap di ruang domistik. Budaya kawin muda dan perlakuan tidak adil terhadap perempuan, termasuk dalam pendidikan, berangkali akan lebih tajam jika dilacak dari sini. Kadang ada benarnya juga jika dikatakan, kebudayaan Madura sebenarnya tidak ramah bagi perempuan.

Persoalan lain adalah ekonomi yang menjadikan pendidikan sebagai sesuatu yang mahal bagi kebanyakan masyarakat Madura. Lagi-lagi korban pertama dari persoalan ekonomi ini adalah perempuan. Jalan yang ditempuh adalah menikahkannya dalam usia dini. Jika dinikahkan maka ia sudah bukan lagi menjadi tanggungan keluarga tetapi suami. Kalau pun masih “apolong” (numpang) bersama orangtua, ia (dan suaminya) tetap akan menjadi penyangga ekonomi yang produktif bagi keluarga.

Sayangnya nurani kemanusian dan kebudayaan kita sepertinya tidak terusik terhadap masalah yang menimpa kaum perempuan Madura. Tokoh agama, pemerintah, bahkan organisasi perempuan sendiri tidak memiliki program yang terencana dan terorganisir, apalagi sinergis untuk memerangi budaya kawin muda dan meningkatkan APM perempuan dalam dunia pendidikan.

Sudah waktunya sekarang semua potensi dikerahkan, sebelum terlambat. Kampanye penyadaran tentang bahaya kawin muda—terutama terhadap kesehatan reproduksi dan rendahnya kualitas keturunannya—mungkin bisa diperankan oleh tokoh agama dan organisasi perempuan. Sementara Pemerintah Daerah bisa membuka kemudahan akses bagi perempuan tidak mampu untuk sekolah dengan misalnya, BKM (Bantuan Khusus Murid) diprioritaskan untuk perempuan. Wallahu a’lam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.