Dalam kekerabatan memang beberapa ahli menyebutkan bahwa Madura mengikuti pola matrilinieal dan patrilineal (Mansurnoor, 1998). Namun kalau melihat beberapa fakta seperti pembagian ruang, fungsi ruang, pemilikan rumah, kebiasaan tinggal dalam keluarga, masyarakat Madura dapat dikategorikan sebagai masyarakat yang menganut paham matrinelial. Penempatan posisi rumah berurut sesuai dengan urutan susunan keluarga, berdasarkan garis perempuan atas kelahiran atau waktu pernikahan. Rumah hanya dipakai untuk menerima tamu perempuan. Sementara untuk ruang laki laki berada di langgar.
Kepemilikan rumah jelas sekali adalah milik keluarga perempuan. Karena pembangunan rumah oleh perempuan, jadi apabila terjadi perceraian maka pihak laki lakilah yang harus keluar. Prinsip ini sangat jelas terlihat pada kebiasaan atau aturan yang berlaku, yaitu saat seorang laki laki menikah maka laki lakilah yang akan tinggal bersama di dalam lingkungan keluarga perempuan. Laki laki adalah pihak luar.
Sistem yang demikian menurut Kuntjaraningrat (1980) disebut sebagai adat uxorilokal. Uxorilokal adalah sistem kekeluargaan dalam satu tempat dihuni oleh satu keluarga senior dan keluarga batih dari anak anak perempuannya.
Dari pertimbangan tersebut jelas sekali bahwa masyarakat Madura dapat dikelompokan kepada masyarakat yang sebenarnya mengikuti pola garis keturunan ibu, atau mengikuti paham matrilineal. Kemungkinan sistim ini berubah karena hadirnya pengaruh Islam yang memperkenalkan paham patrilineal. Namun artefak yang tersisa tidak mengalami perubahan. Pertimbangan tersebut sangat masuk akal jika ditinjau berdasarkan perkembangan garis keturunan menurut Kuntjaraningrat (1980), bahwa perkembangan garis keturunan ibu jauh lebih tua dibanding dengan sistem kekeluargaan dari garis keturunan laki laki. Garis keturunan yang terjadi saat ini merupakan perkembangan dari pandangan berikutnya. Jadi kedudukan perempuan sangatlah penting dan istimewa bagi masyarakat Madura. Oleh sebab itu, penghargaan yang tinggi terhadap perempuan tercermin dalam pemberian rumah kepada anakanak perempuannya sebagai suatu bentuk perlindungan. Perempuan dimaknai sebagai awal kehidupan.
Sistem kemasyarakatan masyarakat Madura adalah sangat otonom dalam lingkungan kecilnya, bahkan otonom dalam rumah tangga mereka. Hubungan kemasyarakatan kelompok masyarakatnya tidak terlalu jelas. Pertemuan dalam masyarakat luas terjadi apabila ada hajat desaiseperti misalnya rokad desa. Tapi ikatan terhadap satu cikal bakal desa tidak dikenal oleh masyarakat Madura. Jika diadakan rokad di tempat-tempat keramat maka hal ini tidak mengikat kekerabatan dan tidak mengurangi otonomi yang dimiliki kelompok tanean. Ikatan terhadap ladang dan kelompok dalam keluarga lebih dominan daripada ikatan dalam kelompok desanya. Kemasyarakatan yang demikian, yaitu kemasyarakatan yang menunjukan otonomi pada kelompoknya dan tidak adanya ikatan yang kuat terhadap lingkungan, merupakan bukti yang jelas sebagai salah satu ciri dari primordial masyarakat ladang.