Pola yang terbentuk dari pemukiman nelayan berupa pola linier (tradisi) dengan struktur yang tidak beraturan yang menggunakan arsitektur vernakular. Tatanan pola linier yang terbentuk karena keberadaan kali Bandaran ini terus menerus berkembang seiring berjalannya waktu. Perkembangan ini terjadi karena lahan yang ada di sepanjang kali Bandaran telah terpakai. Kemudian para nelayan itu membuat rumah di belakang rumah yang telah terbangun tersebut sehingga dapat disebut sebagai rumah lapis kedua. Akses masuk dibuat membentuk jalur-jalur baru yang menjadikannya sebagai cabang dari pola linier tersebut. Pintu gerbang masuk ke kampung nelayan tersebut, ditandai dengan adanya balai RW.
Pada awal memasuki daerah perkampungan nelayan ini kita lebih banyak menyaksikan bangunan-bangunan umum seperti sekolah dasar, balai RW dan gudang penyimpanan. Jalur sirkulasi berupa jalan setapak terbuat dari beton dengan lebar 2-3 meter pada jalur utama dan 1 meter pada cabang-cabangnya atau gang-gangnya.
Rumah-rumah yang ada di kawasan kampung nelayan Bandaran ini tidak lagi mengikuti tatanan pola pemukiman tradisional Madura pada umumnya, disebabkan oleh telah masuknya berbagai pengaruh dari luar daerah. Walaupun terkadang ruang-ruang publik yang biasa terjadi pada arsitektur tradisional Madura telah tergantikan fungsinya sebagai jalur akses dan ruang berinteraksi antar sesama nelayan. Ruang publik ini dapat juga terjadi karena perluasan dari halaman dari rumah nelayan. Dalam kata lain, setiap keluarga memiliki ruang privat yang kecil karena rumah nelayan tersebut berupa rumah tunggal bukan rumah yang terdiri atas beberapa bangunan seperti arsitektur tradisional Madura.
Mulai dari perjalanan masuk kampung nelayan Bandaran ini kita dapat menemukan berbagai macam bentuk rumah dimana semakin kita berjalan terus ke dalam arsitekturnya semakin tradisional baik dari bahan maupun cara pengerjaannya. Mulai dari rumah yang memakai gaya modern dengan bahan bangunan yang modern juga hingga rumah gedeg yang terbuat dari bambu.