Saiful
Terdapat satu pandangan bahwa Madura merupakan “ekor” Jawa, secara kultural kebudayaan Madura hanyalah variasi dari kebudayaan Jawa.
Secara ekologis Madura merupakan kelanjutan dari Jawa, sekalipun antara keduanya (Madura dan Jawa) secara ekologis pula terdapat perbedaan. Jawa didominasi oleh sawah, sedangkan Madura didominasi oleh tegalan. Perbedaan ekologis itulah yang membuat struktur sosial-ekonomi Madura tidak sama dengan Jawa.
Kuntowijoyo berpendapat bahwa sejarah jawa dan Madura tidak bisa dipisahkan, dengan alasan bahwa Madura juga memiliki konstribusi bagi sejarah Jawa sejak zaman Majapahit. Berdirinya kerajaan-kerajaan di Madura (Bangkalan-Sumenep) tidak bisa lepas dengan Jawa, sebagaimana Islamisasi yang tidak bisa lepas pula dari para wali. Campurtangan Madura dalam sejarah Jawa semakin intensif setelah Madura dikalahkan oleh Sultan Agung pada 1624.
Masuklah beberapa nama semisal Trunajaya dan Cakraningrat (I,III,IV) kedalam sejarah Jawa. Pandangan ini bisa dipahami karena memang, sebagaimana ditulis dalam kitab Nagarakertagama, tanah Madura awalnya menyatu dengan tanah Jawa, peristiwa gempa bumilah yang kemudian memisahkan keduanya. Karenanya, tidak keliru, ketika Geertz berdasarkan struktur ekologis memasukkan Madura ke dalam Indonesia Dalam, yakni Jawa dan Madura ditambah
Jawa Barat Laut, Tengah, dan Timur, Bali Selatan dan Lombok, dan mengkontraskannya dengan Indonesia Luar, yaitu bagian luar Jawa ditambah Jawa Barat Daya. Pemisahan dua macam ekosistem ini, yakni Indonesia Dalam yang berpusat pada persawahan dan Indonesia Luar yang berpusat pada perladangan, dapat memengaruhi kepadatan penduduk, cara penggunaan tanah, dan produktifitas pertanian.
sip-sae
engko’ bangga endik budaya madhure…
Mogha-mogha daddiya tamba’an pangataowan tor maenga’ jha’ madhura soghi kalaban buddhajana