Khususnya dalam bidang kesenian, lingkungan budaya pesantren adalah ranah tempat jenis-jenis kesenian yang bersumber atau berakar pada tradisi Islam (pernah) hidup dan berkembang. Jenis-jenis kesenian itu antara lain syi’ir (sastra), diba’, hadrah, gambus, samroh (musik), samman, ruddad, zaf (tari), dan drama al-Badar (teater). Akar kesenian tersebut tertanam jauh di jantung kebudayaan Islam —jika bukan isi setidaknya bentuk— yang ditransmisi ke lingkungan budaya Madura melalui berbagai jalan, yaitu pendidikan, budaya, dan tasawuf (tarekat). Syi’ir, bentuk puisi tradisional Arab yang biasanya bermitrum aaaa atau aabb, misalnya, diajarkan di pesantren-pesantren melalui contoh-contoh puisi karya para ulama terkenal. Karena itu, bagi masyarakat lingkungan budaya pesantren, bentuk syi’ir Madura terasa lebih akrab dibanding pantun atau puisi bebas. Jenis-jenis kesenian lainnya (musik, tari, dan teater), jika tidak secara langsung menimba inspirasi dari khazanah Islam, pastilah bertalian atau mendapat pengaruh dari tradisi Islam itu sendiri.
Karena semua jenis kesenian tersebut merefleksikan wawasan atau pengaruh Islam, maka ia tumbuh dalam lingkungan budaya pesantren dimana lingkaran sosial ulama lokal menyentuh lapisan sosial yang relatif jauh dari sentrum institusi ulama itu sendiri. Semakin jauh lingkaran sosial budaya pesantren dari sentrum institusi ulama dimana kesenian mendapatkan tempatnya, maka kesenian tersebut kian menunjukkan asimilasinya dengan kebudayaan Madura non-pesantren. Kelompok drama Al-Badar barangkali dapat dijadikan contoh asimilasi kebudayaan pesantren dan non-pesantren di Madura. Di samping mementaskan skenario atau kisah yang tidak ditemukan akarnya di lingkungan budaya pesantren, mereka mementaskan kisah nabi-nabi yang jelas mengakar di lingkungan pesantren. Yang sangat terkenal di antaranya adalah cerita Nabi Yusuf a.s., sebuah kisah tragis seorang nabi, lengkap dengan kisah-abadi tentang cinta antara Yusuf dan Zulaikha, dan secara keseluruhan memperlihatkan kemenangan iman atas kezaliman.
Berdampingan dengan lingkungan budaya pesantren itu, hidup dan berkembang pula —untuk gampangnya saya sebut saja— lingkungan budaya non-pesantren. Lingkungan budaya terakhir ini juga merupakan lingkaran-lingkaran sosial, ekonomi, dan budaya, bahkan dalam batas tertentu merupakan lingkaran agama atau kepercayaan tradisional juga. Perbedaan antara keduanya terletak pada sistem simbol yang mereka ambil dalam kehidupan sosial mereka masing-masing. Sistem simbol lingkungan budaya pesantren adalah agama (Islam); sistem simbol lingkungan budaya non-pesantren adalah kesenian Madura. Sebagaimana Islam sebagai sistem simbol menyatukan kelompok-kelompok sosial yang terpencar ke dalam lingkungan budaya pesantren, kesenian tradisional Madura sebagai sistem simbol menyatukan kelompok-kelompok sosial yang lain ke dalam lingkungan budaya non-pesantren.
Harus ditekankan bahwa dengan polarisasi ini tidak berarti agama (Islam) sama sekali tidak penting bagi lingkungan budaya non-pesantren. Telah dikemukakan bahwa islamisasi di Madura secara kultural telah berlangsung dengan relatif “tuntas”. Maka itu, masyarakat dalam lingkungan budaya non-pesantren bagaimanapun secara umum adalah muslim, hidup dengan tradisi Islam, bahkan kadangkala juga dengan fanatisme sangat tinggi terhadap Islam. Namun bagi mereka, di samping sebagai identitas, Islam merupakan agama yang relatif longgar dan sangat terbuka. Dengan kata lain, bagi mereka, Islam tampaknya lebih merupakan identitas dimana mereka menemukan eksistensi mereka sebagai makhluk Tuhan, namun mereka tetap mewarisi dan mengembangkan kesenian tradisi Madura dimana mereka menemukan sistem simbol bagi kehidupan sosial mereka.
Karena perbedaan sistem simbol tersebut, yang berarti juga perbedaan orientasi budaya, maka lingkaran-lingkaran dua lingkungan budaya itu kadangkala bersinggungan. Pada titik itu, ketegangan —terutama dalam bentuknya yang sangat halus— seringkali tak terhindarkan. Namun, secara umum ketegangan tampaknya ingin dihindari. Sejauh pengalaman dan kesan saya, ketegangan akibat persinggungan dua lingkungan budaya ini tak pernah melebihi ketegangan yang timbul dalam internal lingkungan budaya pesantren sendiri. Tarik-menarik antara ortodoksi (Islam “murni”) dan heterodoksi (bid’ah) dalam sosio-relijius Islam di Madura, misalnya, juga ketegangan antara Islam tradisional dan Islam modern, pernah menimbulkan ketegangan yang melampau batas-batas harmoni sosial masyarakat pesantren. Oleh karena itu, meskipun masing-masing lingkungan budaya terasa “asing” bahkan cenderung tidak bisa saling menerima satu sama lain, sejauh saya tahu, ketegangan yang terjadi tampaknya tidak begitu berarti.