Kemunduran kaum ningrat sudah inheren dalam sistem percaton itu sendiri. Pertama, hal ini menuntut pembagian tanah desa dan pertanian secara terus-menerus. Kedua, institusi ini memberi peluang mempercepat kemerosotannya, yaitu dengan diterapkannya sistem sewa. Berdasar kenyataan , kemunduran kejayaan ningrat tidak bisa dielakkan lagi. Pemerintah Belanda kemudian menc oba dengan segala daya untuk membantu kelas ningrat, tetapi ternyata masalahnya sudah tidak bisa diatasi lagi.
Laporan-laporan mengenai kesulitan-kesulitan keuangan istana dan lingkungan bangsawan banyak sekali. Ketika Adipati Bangkalan meninggal dalam tahun 1883. dia meninggalkan utang sebesar f400.000.(1). Ini berarti bahwa pembelanjaan istana terlalu besar. Untung adipati penggantinya dilaporkan bisa membayar utang itu. Namun dalam laporan didapat kenyataan bahwa utang istana masih tetap besar. Adipati Sumenep pada akhir kekuasaannya dalam tahun 1883 berhasil memperoleh surplus dalam pernbelanjaan istana, walau dia memiliki 51 anak dan cucu yang harus dihidupinya.(2) Masih harus diteliti bagaimana dia bisa membagi penghasilan kepada semua keluarganya mengingat jumlah sentana telah semakin banyak. Sentana yang tidak menerima percaton karena habisnya tanah tentu saja bergantung kepada istana untuk penghidupannya. Seorang sentana yang beruntung menjadi kerabat dekat adipati sering menerima penghasilan yang cukup besar. Seorang putra Adipati Bangkalan, misalnya, menerima tujuh desa dan satu hak bandar yang menghasilkan income tahunan sebesar f9.000—suatu penghasilan yang mendekati penghasilan Adipati Pamekasan waktu itu.(3) Sentana seperti itu, jika cukup bijak dalam menggunakan uangnya. tentunya tidak akan terjerat utang.
Sayangnya, banyak sentana yang tidak memiliki kebijaksanaan seperti itu.
Dalam abad kesembilan belas terjadi gangguan besar pada sistem upeti. Ekonomi komoditas yang dijalankan oleh kelas pedagang memainkan peran menentukan dalam kehancuran sistem percaton. Para pedagang, yang menjadi kaya akibat perdagangan lokal dan antarpulau, mulai memasuki organisasi sosial tradisional dengan membeli hak—hak menarik pajak-pajak pertanian apanage, pasar, dan bandar. Praktek menyewakan desa sudah menjadi kebiasaan. Alasan yang biasa dikemukakan untuk hal ini adalah sulitnya keadaan iklim, tanah yang kurus, dan kesulitan perhubungan darat. Para pemegang percaton yang biasanya tidak berdiam dalam desa percaton-nya dengan senang hati menyewakan desa mereka untuk mernperoleh uang tunai. Dengan sebuah pepadang yang sederhana, hak percaton bisa dialihkan.
Sering sistem sewa itu menjadi terlalu meluas. Pemegang percaton biasa mengadakan kontrak yang tidak masuk akal. Di Bangkalan, misalnya, seorang pangeran menyewakan desanya selama lima belas tahun. Pepadang-nya bahkan memuat pasal yang mengharuskan keturunannya mematuhi kontrak itu.(4) Sistem sewa menimbulkan berbagai kontrak yang melanggar hukum, misalnya, menyewakan kepada orang Cina. Semua piagem memuat larangan menyewakan percaton kepada orang asing. Namun orang-orang Cina memiliki cara untuk memanipulasi hukum. Untuk menghindari larangan legal, orang Cina biasanya memakai nama samaran Madura.(5) Orang—orang Cina itu tidak perlu khawatir karena mereka memiliki posisi legal yang kuat dalam undang-undang kolonial. Mereka berada di luar kekuasaan hukum pribumi.
Rusaknya sistem percaton oleh cara kapitalistik ini diikuti oleh kecenderungan yang sama terhadap sistem pajak negara. Memborongkan pajak kepala telah merupakan kebiasaan. Di Surnenep, misalnya, seorang kliwon (kepala desa) sering memborong pajak desanya. Ini berarti dia membayar uang panjar kepada seorang penguasa, Untuk kemudian memperoleh keuntungan besar dari pajak yang ditariknya.(6) Memborong pajak pasar dan bandar juga sudah menjadi kebiasaan.(7)
Menjelang akhir kuartal pertama abad kesembilan belas hampir tidak ada sistem upeti tradisional yang luput dan sistem sewa ini. Hak-hak upeti telah merupakan komoditas. Terdapat laporan-laporan yang menyebutkan penjualan dan penjualan kembali, penyewaan dan kemudian disewakan lagi tanah-tanah apanage. Sebagai akibatnya, kelas penguasa telah jatuh kedalam cengkeraman kelas pedagang, kebanyakan pedagang Cina. Hubungan antara petani dengan para pemegang apanage hanyalah hubungan di atas kertas saja. Tugas pemerintahan lebih merupakan tugas melindungi kepentingan kelas pedagang, bukannya kepentingan kelas penguasa.
Dalam periode disintegrasi ini, kaum ningrat mencoba mempertahankan kehidupan bermewah-mewah dan konsumtif. Dilaporkan bahwa kaum ningrat tidak pernah kehilangan keangkuhannya dan rakyat tetap menunjukkan hormatnya kepada mereka. Bahkan kaum ningrat tetap memandang sinis kepada para pedagang Cina dan kelompok orang kaya baru Madura.(8)
Pemerintah Belanda bahkan mendorong berkembangnya kapitalisme merkantil. Orang-orang Cina, terutama, diserahi memegang haI-hak yang diambil alih para penguasa Madura. Selain itu, banyak ketentuan yang baru, misalnya monopoli penjualan candu, pergadaian, dan perjudian diberikan kepada orang-orang Cina. Orang-orang Cina juga dipercaya memberikan layanan barang dan jasa kepada para penguasa kolonial. Peluang-peluang seperti pemasokan makanan, kayu bakar, rumput dan lain—lain diberikan kepada mereka. Untuk memperoleh kontrak— kontrak tersebut, orang.-orang Cina mengajukan penawaran secara umum yang sering mereka menangkan dengan mengalahkan kontraktor-kontraktor Eropa. Yang terpenting dari semua kontrak tersebut adalah pengangkutan garam yang untuk waktu lama berada di tangan orang-orang Cina.
Para penguasa Madura dan kaum ningrat kemudian kehilangan dominansi ekonomi mereka. Laporan-laporan Belanda menyebutkan bahwa hanya karena bantuan Belanda saja mereka masih dihormati rakyat. Mendekati akhir kekuasaan penguasa pribumi, kaurn ningrat sudah menjaji sangat lemah dan miskin. Beberapa di antaranya tidak memiliki harta di rumah-rumah mereka, sebagian bahkan tidak tinggal di rumah milik sendiri. Sebuah laporan mengungkapkan bahwa seorang pangeran yang berpangkat mayor dalam Barisan, selalu memakai seragam militernya karena tidak mempunyai pakaian lain. Hanya pada waktu-waktu upacara kaum ningrat ini tamp sebagai ningrat.(9)
Berakhirnya kekuasaan pribumi dan sistem percaton membawa kebangkrutan kaum ningrat. Penghapusan kontrak-kontrak mereka dengan para pemborong pajak tidak menyelamatkan mereka dan jeratan utang. Bagaimanapun, kaum ningrat mencoba mempertahankan simbol-simbol status mereka, terutama kendaraan mereka, yang akhirnya pun terpaksa mereka lepaskan karena tidak mampu mernbiayainya Iagi. (10) Seperti telah disebutkan, dihapuskannya layanan kerja pancen memaksa mereka membayar orang-orang untuk memelihara kereta serta kuda-kudanya.
Pemerintah Belanda mencoba menolong dengan memberi pensiun kepada kaum aristokrat yang tidak mempunyai pekerjaan itu. Selama tahun 1883, Belanda membayar pensiun sebesar f157.818 pertahun untuk 218 sentana Sumenep,(11) dan dalam tahun 1885 sebesar f200.429 untuk 151 sentana Bangkalan. Tetapi tetap saja kaum ningrat itu terjerat utang. Lima tahun setelah pengambilalihan tiga sentana terkemuka Bangkalan terjerat utang besar kepada para pedagang Cina. Seorang pangeran bahkan harus mendekam beberapa bulan di penjara karena tidak mampu membayar utangnya. Demikian pula di Sumenep, seorang ningrat tinggi terpaksa dipenjarakan.(12)
Masalah-masalah keuangan itu menyebabkan ancaman terhadap stabilitas dan keamanan. Kaum ningrat membenci orang-orang Cina. Belanda khawatir bahwa kaum ningrat akan bertindak di luar hukum terhadap mereka. Hal itu diperburuk lagi ketika tiga bangsawan yang berpangkat mayor dalam Barisan dipenjarakan atas permintaan rentenir Cina. Pemerintah lokal menyangka bahwa Barisan akan bertindak terhadap penduduk Cina.(13) Pemerintah terpaksa mengambil tindakan sendiri. Dalam tahun 1890, pemerintah menyediakan f400 000 untuk membayar utang-utang kaum ningrat, yang akan dicicil dan pensiun bulanan mereka. (14)
Masalah itu tidak selesai begitu saja. Utang dan kemiskinan terus menghantui kaum ningrat. Karena miskin, banyak utang, kaum ningrat terjerumus ke dalam berbagai masalah sosial: mengisap candu, menyelundup, dan bahkan mencuri. Belanda mengambil tindakan lagi untuk melindungi kaum ningrat dan Cina. Dalam tahun 1894, pemerintah memerintahkan semua pengadilan sipil untuk menunda hukuman terhadap kaum ningrat dan hukuman masuk penjara. Pemerintah mengadakan penyelidikan terhadap kegiatan ekonomi orang-orang Cina. Komisi penyelidik menyarankan bahwa hukuman penjara terhadap kaum ningrat supaya ditiadakan.(15)
Di samping tindakan ekonomi dan hukum, pemerintah mengadakan rencana panjang untuk membantu kaum ningrat. Mereka melaksanakan janji mereka untuk memberikan prioritas kepada kaum ningrat dalam menunjuk pejabat pemerintahan. Salah sebuah pelaksanaan janji ini adalah jabatan dalam Barisan. Untuk jabatan perwira dan letnan dua ke atas, pemerintah menyediakannya untuk kaum ningrat. Di tahun 1875 hanya 38 persen dari perwira adalah ningrat, dibanding 61 dan 63 persen masing-masing dalam tahun 1885 dan 1895. (16) Ini masih belum memuaskan pemerintah karena Belanda berpendapat bahwa kaum ningrat sebenarnya tidak menyukai jabatan-jabatan itu. Sedangkan jabatan-jabatan pegawai pemerintah didominasi oleh kaum ningrat.
Pemerintah dengan sengaja mempersiapkan anak anak ningrat untuk menjabat posisi-posisi administratif. Selain pendidikan dalam sekolah umum yang didirikan Belanda di Madura sejak tahun 1862, anak-anak ningrat juga dikirim ke sekolah-sekolah untuk anak-anak Belanda. Mereka itu diberi hak-hak untuk memperoleh pendidikan tinggi. Dalam daf tar Regeeringsalmanak bisa dibaca banyaknya nama ningrat yang tercantum di sana. “Kontinum ningrat-birokrasi ini” mencegah kaum ningrat kehilangan dominasi sosial dan administratifnya. (17) Dalam upaya ini, anak-anak ningrat Madura dikirim ke sebuah sekolah kejuruan di Probolinggo, Jawa Ti.mur, yang didir ikan Belanda pada tahun 1879. Jabatan-jabatan senior tert entu hanya boleh dijabat oleh ningrat yang memenuhi persyaratan.
Catatan:
- Maurenbrecher, “Tjakra (di)ningrat: Vorstenhuisse van Madoera (Bangkalan)”, TBB, 1889, hIm. 291-305.
- Vb. 19 Desember 1883 No. 54, “Staat Letter C Behoorende bij Arhkel I van het Besluit van 18 Oktober 1883 No. 5”.
- Vb. 22 Agustus 1863 No. 21, Residen Madura kepada Gubernur Jenderal, Pamekasan, 31 Agustus 1862 Geheim LaA; Vb. 22 Juli 1857 No. 362, bupati dalam administrasi yang baru dibayar f800 sampai fl.000 per bulan.
- Lihat Bijiage Vb. 24 Agustus No. 14, “Raport over Bangkalan en Sumenep Hoof dinspecteur Sollewijan Gelpke, Opd racht Dir. B.B. 3 Maret 1883 No. 1883 No. 1393, hInt 76- 86
- Ibid.
- Vb. 6 Juni 1882 No. 36, Resident van der Tuuk kepada Gubernur Jenderal, Pamekasan, 31 Desember 1880 No. Zeer Geheim (sangat rahasia) L.N. IV, 72.
- Mengenai sewa pasar di Sumenep, lihat Vb. 7 September 1864 no. 150 Geheim. Surat Residen N.D. LanimerS van Toorenhurg kepada Gubernur Jenderal, 31 Desember 1863 LaF; Plakaat van den Sultan Pakoe Noto Ningrat, Betreff ende de Heffing der Belasting Genaamd “wang popon” —Toestand van den Handel te Soemenep”, ITR, 41: 1883, 201-219. Mengenai Bangkalan, Ithat Vb. 22 Agustus 1863 No. 21, Residen N.D. Lammers van ToorenbUrg kepada Gubernur Jenderal. Pamekasan, 31 Agustus 1862, Geheirn LaA, Bijiage LaE, “Opgave der Bazaar in het Regentschap Mactura’. Mengenai bandar Bangkalan lihaF \Tb. 22 Agus tus 1863 No. 21, Bijiage LC, “Opgave der Nagelatene schulden van Wijiende Panembahan van Madura ten Behoeve der Hieronder Genoemde personen”.
- Bijlage Vb. Agustus 1883 No. 14, “Sollewijn Gelpke”, him. 92-93.
- Vb. 24 Agustus 1883 No. 14, “Sollewijn Gelpke”, him. 94- 96.
- 1/b. 19 Desember 1883 No. 54, Resident van der Tuuk kepad a Direktur Keuangan, Pamekasan, 12 Oktober 1882 LaO3.
- Vb. 19 Desember 1883 No. 54, “Staat Letter C Behoorende bij Artikel I van hefBesluit van 18 Oktober 1883 No. 5”.
- Vb. 5 Juli 1890 No. 73, Asisten Residen De Conight kepada Residen, Bangkalan, 31 Maret 1890 No. 1306/11.
- Vb. 5 Juli 1890 No. 73, Direktur Urusan Pemerintahan Neg eri kepada Gubernur Jenderal, Batavia, 5 Mei 1890 No. 2422.
- OIB 25 Agustus 1890 Zeer Geheim No. 1: Staatsblad No. 175/1890.
- Kolonien 5037, Bijiage Vb. 17 April 1896 No. 27, “Raport Betreffend het Onderzoek naar Economische Toestand der Vreemde Oosterlingen op Java en Madoera, en Vootrst ellen to Verbetering, vol. 1, hIm. 441, 892-893.
- Regeeringsalrnanak, 1875, 1885, 1895.
- Istilah “kontinurn ningrat-hirokrasi” diarnhil dan Gerhard E. Lanski, Power and Privilege: A Theory of Social Stratificat ion (New York: McGraw-Hill Book Company. 1966), 230.
Tulisan sebelumnya: Penghapusan Sistem Upeti dari Pemerintah Belanda
Bersambung : Pemberontakan Kaum Ningrat Madura