Untuk menutupi aib tersebut, Raden Ayu Pottrè Konèng terpaksa diasingkan ke tengah hutan oleh para punggawa istana untuk menghindari amarah sang raja. Di dalam pengasingan tersebut, Raden Ayu Pottrè Konèng melahirkan bayinya yang mungil dan lucu.
Di tengah kebahagiaan kelahiran puteranya terbersit rasa bersalah di kebingungannya. Ia melahirkan tidak dengan status menikah. Setelah melahirkan, Raden Ayu Pottrè Konèng kembali bingung kalau bayinya dibawa pulang ke istana, maka ayahnya akan menghukumnya sehingga ia mengambil keputusan untuk membuang dan meletakkan bayi tersebut ke hutan.
Di tengah hutan, bayi tersebut merengek kehausan, menangis dengan suara yang lemah tak tertahankan, tetapi rengekan itu menjadi sirna karena hadirnya seekor kerbau yang datang menyusuinya. Setiap waktu kerbau tersebut setia menyusui bayi tersebut. Kerbau tersebut menghilang dari rombongan kerbau yang lain, pemiliknya bingung karena kerbaunya selalu menghilang pada waktu-waktu tertentu. Setelah dicari, kerbau tersebut ternyata menyusui seorang bayi. Pemilik kerbau tersebut adalah Empu Kelleng.
Setelah mengetahui bahwa ada bayi sendirian di tengah hutan belantara, Empu Kelleng sangat bersuka cita, heran, dan tidak percaya karena ada bayi mungil di bawah pohon yang rindang sebatang kara. Dipungutlah bayi itu, digendongnya dengan penuh kasih sayang, kemudian dibawanya pulang ke rumah. Karena kebetulan ia tidak mempunyai anak, maka ia bersama isterinya bertambah bahagia. Keluarga kecil itu mengadopsi bayi tersebut dan diberi nama Jokotole.
Raden Ayu Pottrè Konèng kembali lagi ke goa pertapaanya, mendekatkan diri pada Yang Maha Kuasa. Tak lama peristiwa kehamilan dan kelahiran Jokotole, terulang kembali pada dirinya. Hal yang sama dia lakukan juga pada bayi yang dilahirkannya, dibuangnya ke hutan. Bayi itu ia beri nama Jokowedi.
Kembali ke kisah Jokotole. Masa kecil yang dilewatinya, penuh dengan pengabdian. Ia dididik oleh ayah angkatnya dengan hati dan perasaan. Empu Kelleng dan isterinya tidak jemu-jemu memberikan didikan yang benar agar kelak Jokotole menjadi anak yang berbakti pada orang tua, nusa, dan bangsa. Sejak kecil ia terbiasa membantu pekerjaan ayah angkatnya membuat perkakas pertanian, senjata, dan alat-alat rumah tangga dari logam keras berupa besi.
Ketika Empu Kelleng sedang istirahat, diam-diam Jokotole kecil belajar membuat alat-alat itu sendiri. Pada usia enam tahun kelebihan Jokotole mulai tampak. Ia mempunyai kemampuan untuk meluluhkan besi dengan tangannya. Ia mampu membuat perkakas lebih cepat dan lebih bagus dari ayah angkatnya. Benda buatan Jokotole yang kesohor berupa keris dengan nama Jenengan Pakandangan.
Mengetahui hal tersebut, Empu Kelleng mulai merasakan bahwa anak angkatnya bukan manusia biasa, tetapi mempunyai bawaan yang istimewa, maka semakin sayanglah ia pada Jokotole. Pada masa itu, Empu Kelleng dan beberapa pandai besi lainnya mendapat undangan dari Prabu Brawijaya VII, kerajaan Majapahit. Sang Prabu menugaskan mereka membuat pintu gerbang utama kerajaan.