Setelah selesai pembuatan pintu gerbang Kerajaan Majapahit, Empu Kelleng dan Jokotole berpamitan kepada Prabu Brawijaya VII, tetapi hanya Empu Kelleng yang diperbolehkan pulang sementara Jokotole untuk sementara waktu diminta mengabdi di kerajaan.
Atas jasa-jasa Jokotole terhadap Majapahit, maka sang raja berkenan menganugerahkan puteri mahkota kerajaan Majapahit, Dewi Ratnadi sebagai isteri. Dewi Ratnadi adalah puteri raja yang buta. Bukan Jokotole namanya bila tidak berakhlak mulia dan tunduk pada raja, meskipun dianugerahkan seorang puteri yang buta, Jokotole menerimaya dengan syukur dan lapang dada.
Setelah beberapa lama tinggal di Majapahit, Jokotole minta izin untuk pulang ke Sumenep dan membawa isterinya yang buta. Dalam perjalanan mereka sering bercanda tawa dan penuh suka ria. Sesampainya disebuah pantai, isterinya minta izin untuk buang air. Karena di tempat itu tidak ada air, maka tongkat isterinya diambil oleh Jokotole dan ditancapkan ke tanah, lalu menyemburlah air yang sangat jernih dan mengenai kedua mata isterinya yang buta. Akibat dari percikan air itu, maka tiba-tiba Dewi Ratnadi dapat melihat kembali. Puji syukur kepada Yang Maha Kuasa, keduanya saling berpelukan saking gembiranya. Tempat tersebut diabadikan menjadi nama tempat yang bersejarah, yaitu “Socah” (dan diabadikan menjadi nama tempat di Bangkalan) yang artinya mata.
Perjalanan keduanya banyak menjumpai hal-hal yang luar biasa, misalnya ketika di Sampang, Dewi Ratnadi ingin mencuci kainnya yang kotor karena haid. Kain yang dicucinya hanyut karena derasnya aliran air sungai sehingga kain tersebut tidak ditemukan meskipun telah dicari. Kain tersebut oleh orang Madura disebutnya sebagai Ambenan. Jokotole berkata “Mudah-mudahan sumber ini tidak keluar dari desa ini untuk selama-lamanya.” Sejak itu desa itu menjadi kering kerontang dan diberi nama Omben.
Karena sudah mengetahui dan mengenali tentang posisi ayahnya yang bertapa di Gunung Geger, Jokotole mendatangi dan meminta restu padanya. Jokotole diberitahu bahwa ia nantinya akan berperang dengan prajurit dan seorang ahli perang bernama Dempo Abang (Sampo Tua Lang). Ia seorang panglima perang dari negeri China yang sering menunjukkan kekuatannya kepada raja-raja di tanah Jawa, Madura, dan sekitarnya.
Jokotole kemudian melanjutkan perjalanan ke Sumenep untuk tujuan menemui ibunya, yakni Raden Ayu Pottrè Konèng . Jokotole dan isterinya disambut oleh sang ibu dengan penuh kasih sayang. Pangeran Secadiningrat yang waktu itu menjadi Raja di Sumenep merasa sudah tua. Ia bermusyawarah dengan Jokotole dan Adi Poday (menantunya). Pangeran Secadiningrat menawarkan untuk mengganti tahta kerajaan, tetapi Adi Poday menolak dengan halus disertai dengan alasan bahwa orang tuanya yang bernama Panembahan Belingi sudah tua. Masyarakat di Kepulauan Sepudi menginginkan dia kembali untuk menggantikan ayahnya.
Pangeran Secadiningrat akhirnya menawarkan kepada Jokotole. Jokotole tidak bisa menolak akan hal tersebut, tetapi dirinya meminta agar pusat pemerintahan Kerajaan Sumenep dipindah ke Lapa Taman, Dungkek. Dengan tujuan agar dekat dengan pelabuhan menuju Pulau Sepudi.