Syariffuddin Mahmudsyah
Berbagai deskripsi perilaku absurd orang-orang Madura terbiasa diungkap dan ditampilkan ─ misalnya, dalam forum-forum pertemuan komunitas intelektual (well-educated) ─ sehingga kian mengukuhkan generalisasi identitas mereka dalam nuansa tersubordinasi, terhegemonik, dan teralienasi dari ‘pentas budaya’ berbagai etnik lainnya sebagai elemen pembentuk budaya nasional.
Kendati pun setiap etnik mempunyai ciri khas sebagai identitas komunalnya, namun identitas Madura dipandang lebih marketable daripada etnik lainnya untuk diungkap dan diperbincangkan, terutama untuk tujuan mencairkan suasana beku atau kondisi tegang pada suatu forum pertemuan karena dipandang relatif mampu dalam menghadirkan lelucon segar (absurditas perilaku).
Dalam konteks religiusitas, masyarakat Madura dikenal memegang kuat (memedomani) ajaran Islam dalam pola kehidupannya kendati pun menyisakan ‘dilema’, untuk menyebut adanya deviasi/kontradiksi antara ajaran Islam (formal dan substantif) dan pola perilaku sosiokultural dalam praksis keberagamaan mereka itu. Pengakuan bahwa Islam sebagai ajaran formal yang diyakini dan dipedomani dalam kehidupan individual etnik Madura itu ternyata tidak selalu menampakkan linieritas pada sikap, pendirian, dan pola perilaku mereka.
Dilema praksis keberagamaan mereka itu, kiranya menjadi tema kajian menarik terutama untuk mema-hami secara utuh, mendalam, dan komprehensif tentang etnografi Madura di satu sisi, dan keberhasilan penetrasi ajaran Islam pada komunitas etnik Madura yang oleh sebagian besar orang/etnik lain masih dipandang (di-yakini?) telah mengalami internalisasi sosiokultural, di sisi lain. Pemahaman demikian diharapkan dapat memberi kontribusi yang bermakna terutama bagi kejernihan dan kecerahan pola pandang elemen warga-bangsa.