Dalam realitasnya, tidak semua orang Madura diperkirakan mampu atau berkesempatan untuk mencapai posisi sebagai Rato, kecuali 3 atau 4 orang (sebagai Bupati di Madura) dalam 5 hingga 10 tahun sekali. Itu pun baru terlaksana ketika diterbitkan kebijakan nasional berupa Undang-Undang tentang Otonomi Daerah, tahun 1999 yang baru lalu.
Oleh karena itu, kesempatan untuk menempati figur Rato pun dalam realitas praksisnya merupakan kondisi langka yang relatif sulit diraih oleh orang Madura. Dalam konteks itulah dapat dinyatakan bahwa sepanjang hidup orang-orang Madura masih tetap dalam posisi yang senantiasa harus patuh. Begitulah posisi subordinatif-hegemonik yang menimpa para individu dalam entitas etnik Madura.
Deskripsi tentang kepatuhan orang-orang Madura kepada empat figur utama tersebut sesungguhnya dapat dirunut standar referensinya pada sisi religiusitas budayanya. Sebagai pulau yang berpenghuni mayoritas (+ 97-99%) muslim, Madura menampakkan ciri khas keberislamannya, khususnya dalam aktualisasi ketaatan kepada ajaran normatif agamanya (Wiyata, 2002:42).