Penulis A. Sulaiman Sadik,
Melihat pengelompokan di atas, segala sesuatu yang dipaparkan dalam buku ini merupakan wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya. Ketiga wujud kebudayaan tersebut, dalam kehidupan nyata satu dengan lainnya saling terkait karena ide dan adat-istiadat memberi arah pada perbuatan dan karya manusia. Karya-karya budaya itu memberi pengaruh terhadap daya pikir manusia, khususnya masyarakat Madura.
Madura secara tradisional sebagai masyarakat agraris dan kesempatan tersebut oleh pemerintah jajahan diguna kan dengan baik. Madura diperkenalkan dengan penanaman tebu untuk pabrik gula. Mula-mula pemerintah menanam tebu 4.000 pikul, kemudian bertambah menjadi 7.000 pikul untuk sekali musim giling. Terakhir pemerintah mencoba 10.000 pikul dan setiap pikul pabrik memberi ongkos f3,50.
Pada tahun 1865 luas tanaman tebu 400 bau dengan mem pekerjakan 1.600 rumah tangga. Hal itu dikarenakan luas nya tanaman tebu dan kualitas tanah yang terbaik. Rakyat merasa dirugikan sehingga tanaman efektif lainnya menjadi terbengkalai. Selain itu, kepala desa mulai memaksa penduduk untuk menanam tebu. Oleh karena itu, banyak rakyat meninggalkan Madura terutama dari daerah yang berperan sebagai penghasil tebu, yakni Pamekasan. Mereka hijrah ke Jawa.
Sebagian penduduk ada yang menetap di Jawa dan pula yang akhirnya kembali lagi ke Madura. Karena itu, tidak heran jika hingga saat ini di daerah Malang terdapat banyak orang dari Desa Sameran, Kecamatan Pamekasan.
Pada hakikatnya, petani Madura tergolong ulet dan tidak mau dirugikan. Demikian pula pekerja pabrik gula yang ada di Kampung Teja, Pamekasan. Mereka menyadari bahwa dengan menanam tebu, tanaman yang lain akan terabaikan. Oleh karena itu, mereka kemudian melakukan siasat agar pabrik gula gulung tikar. Siasat mereka yaitu, setiap pulang kerja, mereka mengisi tempat bekal nasi mereka yang kosong dengan gula. Dari sekian ratus pekerja gula pabrik setiap hari, lenyap pula sekian ratus kilogram gula.
Hal ini menimbulkan rasa heran pemilik pabrik karena jumlah tebu yang digiling setiap harinya semakin berkurang. Semakin sedikitnya hasil tebu menyebabkan hasil gula pun menjadi berkurang dan lambat laun mengalami kebangkrutan. Seperti ungkapan padâ bân ghilingan Tèjhâ “sama dengan (pabrik) penggilingan di Desa Tejâ”. Ungkapan tersebut menggambarkan sekelompok orang yang suka makan sampai habis akan tidak pernah merasa kenyang. Ternyata orang Madura dapat melawan perlakuan semena mena kaum penjajah dengan cara yang sederhana.
Berbeda dengan tebu, budidaya tanaman tembakau mulai dicoba di Madura pada tahun 1830. Akan tetapi banyak pertimbangan, seperti tanah yang berbatu dan minimnya air. Hal tersebut mengakibatkan percobaan untuk menanam tanaman tembakau tidak dilanjutkan. Sementara itu, di pulau Jawa mulai menanam tembakau rajangan dan tembakau Virginia dengan mempekerjakan para migran dari Madura.
Dalam paruh abad ke-19, ribuan orang Madura mengadakan kontrak kerja selama kurang lebih satu musim. Jumlah itu semakin bertambah ketika musim panen tiba. Kondisi tersebut membuktikan bahwa perkebunan tembakau di Jawa Timur lebih banyak menggunakan pekerja yang berasal dari Madura. (Cf.Van Hall dan Van de Koppel 1946 1950, IIb:423 dan 487-494, dalam Huub de Jonge, 1989:150). Mereka datang ke Jawa untuk mencari kerja. Sementara aturan kerja tidak ada. Mereka hanya dibayar dengan upah rendah atau yang disebut hongerloon (Soenarto:1960).
Tahun 1861, tiga orang swasta bangsa Eropa mencoba menanam tembakau di Pamekasan dan berhasil. Produksi per tahun mencapai 300 pikul. Beberapa tahun kemudian, perkebunan dijual karena merugi dan pembelinya hilang entah ke mana (Kuntowijoyo, 1980:59-60 dalam Huub de Jonge 1989:152).
Pengetahuan para migran Madura tentang penanaman dan pengolahan tembakau yang baik di Pulau Jawa mulai dipraktikkan setelah mereka kembali ke pulau Madura. Bahan baku tembakau Madura kini mulai dibeli oleh orang dari luar Madura ketika pabrik-pabrik rokok di Pulau Jawa mulai kewalahan memperoleh bahan baku. Hal ini disebabkan semakin tingginya persaingan para pengusaha pabrik untuk memperebutkan bahan baku. Para pengusaha pabrik rokok tersebut sebagian besar dikuasai oleh orang-orang Cina. Mereka terpaksa membeli bahan baku tembakau ke daerah-daerah produksi pinggiran, seperti Madura (Vleming, 1925:167 dalam Huub de Jonge, 1989:153).
Seiring bergulirnya waktu, setelah seperempat abad terakhir, yaitu pada abad ke-20 hingga saat ini tembakau sigaret Madura menemukan kejayaannya.
Tembakau merupakan komoditas yang paling bagus bagi Madura, meskipun hingga kini para petani tembakau belum sepenuhnya menikmati hasil jerih payahnya. Secara keseluruhan, pasar tembakau tidak sama dengan pasar hasil pertanian lainnya. Pasar tembakau ditentukan oleh pabrik melalui gudâng yang dilengkapi dengan sekelompok orang sebagai penjaring keuntungan pabrik yang disebut bandol.
Mereka tidak segan-segan membuat tafsiran harga yang sangat rendah dan mengumpan para petani Madura dengan tawaran modal tanam menggunakan sistem ijon. Di sinilah sikap apatis petani Madura mulai muncul, yaitu menerima kondisi tersebut apa adanya sehingga dengan mudah mere ka dipermainkan oleh kapitalis.
Setiap musim panen tembakau, pabrik sebagai pemilik modal dengan mudah mengontrol keuntungan dari komoditas tembakau. Oleh karena itu, mereka dengan mudah memainkan harga dan bisa mempermainkan para petani dengan menentukan jenis tanaman apa yang harus mereka tanam tiap tahunnya. Selain itu mereka juga dengan mudah mengetahui kualitas tembakau yang para petani hasilkan.
Selain itu, peran gudâng sangat menentukan. Gudâng juga memiliki tenaga ahli yang statusnya sebagai tukang sortir yang menentukan kualitas tembakau (kualitas A, B, C, D, atau CD) dengan puluhan karyawan yang mempunyai tugas melaksanakan semua pekerjaan yang dibebankan pabrik ke gudâng. Selain gaji, karyawan selama musim timbang juga mendapat bonus yang dibayar setelah perhitungan keu angan gudang dan pabrik selesai. Bonus inilah yang menjadi perangsang bagi orang-orang untuk mendapatkan kesem patan bekerja di gudang tembakau.
Khusus pembayaran karyawan di guḍâng, pabrik tidak tahu-menahu karena sepenuhnya menjadi tanggung-jawab pemilik gudang. Namun, sepanjang pengalaman pelaksanaan kerja, gudâng tidak merasa kesulitan dalam pembayaran upah karena hasil penjualan ghurghur dan contoh yang terkumpul selama musim tembakau, penghasilan gudang masih berlebih untuk membayar karyawannya.
Sebagaimana diketahui dalam proses penerimaan tem bakau dari petani, gudâng menyeleksi dengan ketat melalui tukang sortir. Bandol atau perantara sudah menyiapkan contoh dari setiap bal (ghulu) tembakau yang dikirim. Contoh tembakau yang mereka bawa ke gudang hampir seberat dua kilogram. Contoh tersebut kemudian menjadi milik gudang. Selain itu, tembakau juga diperiksa, apakah tembakau dalambal itu sama dengan contoh yang dibawa para petani atau tidak.
Dalam pemeriksaan tersebut, bungkus tembakau yang terbuat dari tikar yang dianyam dari daun siwalan, bisa dipastikan rusak karena tembakau tersebut harus diganti dengan bungkus (tikar) baru. Dalam proses pemeriksaan dan pergantian tikar ini tentunya mengakibatkan sebagian tembakau hancur atau rusak (ghurghur). Umumnya ghurghur masih memiliki harga yang cukup bagus dibandingkan dengan kroso’ (daun tembakau kering yang biasa dijual terpisah dari tembakau).
Semakin banyak ghurghur yang berceceran di gudang, semakin banyak keuntungan yang didapatkan oleh pihak gudang karena pemilik gudâng dapat mengumpulkan ghurghur, mengirim, dan menjualnya ke pabrik rokok. Proses itu menimbulkan kerugian besar bagi petani karena bandul atau gudâng membebankan penggantian tikar dan contoh tebakau kepada petani. Oleh karena itu, untuk menolong petani tembakau, pemerintah dari dua kabupaten di pulau Madura menerbitkan aturan-aturan khusus, yaitu jumlah atau besarnya pengambilan contoh ditentukan maksimal satu kilogram.
Namun demikian, peraturan daerah tersebut belum berjalan efektif. Bahkan, pengawasan yang dibentuk hingga puluhan orang untuk mengawasi jumlah contoh yang diambil orang gudang dari pedagang atau petani tembakau masih sering dimanipulasi sehingga pengambilan sampel tersebut tidak sesuai dengan peraturan daerah dan merugikan petani.
Tidak semua petani jujur, sebab dalam bal tembakau sering dicampur dengan ghurghur atau barang lain yang tampak sama dengan warna tembakau. Namun, ketidakjujuran petani ini akibat ulah bandul yang selalu mencurangi jumlah timbangan (artinya dalam urusan berdagang tembakau, semua pihak masih memerlukan pembinaan moral).