Satu hal yang menarik, bahkan Bouvier sendiri tidak dapat merumuskan korpus kesenian dengan ketat dan tegas. Beberapa kesenian muncul dalam momen yang sama, meskipun memiliki dimensi yang bertolak belakang. Kesenian loddrok misalnya, kadangkala tampil setelah kesenian hadrah atau samrah. Keduanya pada dasarnya memiliki akar yang berbeda, dan memiliki konteks yang berbeda pula. Perbendaan konteks ini barangkali tidak lah terlalu signifikan, namun dalam konteks yang berbeda kesenian yang muncul pun akan sangat berbeda, antara lain latar belakang si penanggap atau tujuan acara tersebut dilaksanakan. Latar belakang penanggap kesenian maupun tujuan acara dilaksanakan memiliki peran penting terkait dengan kesenian apa yang akan ditanggap. Mereka yang memiliki kedekatan khusus dengan keaye atau memiliki keagamaan yang kuat misalnya, cenderung untuk memilih kesenian Islam dalam kegiatan kesenian yang mereka panggil. Demikian pula jika tujuan melaksanakan kesenian terkait erat dengan kegiatan keagamaan.
Kesenian yang berkembang di Madura tidak dapat melepaskan diri dengan konteks-konteks khusus, yang membawa kesenian tersebut ke akar historis di satu sisi, dan ke arah pemanfaatan di sisi lain. Konteks ini lebih pada kondisi dialektis antara agama dan seni. Beberapa unsur kesenian, seperti dicatat Bouvier, berasal dari masa pra Islam. Misalnya pada pengantar pertunjukan topeng dan loddrok, bahkan beberapa repertoar dari lakon yang dimainkan, mengambil secuplik dari epos Mahabharata atau Ramayana. Beberapa membutuhkan perangkat sesajian khusus sebelum dan dalam proses kegiatan kesenian itu sendiri. Barangkali dialektika yang paling terlihat, antara kesenian dan Islam, termanifestasi dalam kesenian Islam, yang mengusuk repertoar Islam dan setiap sentuhan seninya. Alat musik khas arab, gambus dan terbhang misalnya, mengambil akar historisnya dari masyarakat Arab (atau umumnya Timur Tengah) yang datang ke Madura; demikian pula bacaan maulid maupun lagu-lagu atau syair Arab.