Kearifan budaya Madura yang juga menjadi keunikan etnografisnya tampak pada perilaku dalam memelihara jalinan poersaudaraan sejati. Hal itu tergambar dari ungkapan budaya oreng dhaddhi taretan, taretan dhaddhi oreng, (orang lain bisa menjadi/dianggap sebagai saudara sendiri, sedangkan saudara sendiri bisa menjadi/dianggap sebagai orang lain).
Keunikan yang muncul dari ungkapan kultural (pseudo-kinship) itu diwujudkan dalam bentuk perilaku aktual. secara konkret, ucapan kultural tersebut memiliki makna bahwa kecocokan dalam menjalin persahabatan atau persaudaraan dapat dikukuhkan secara nyata dan abadi. Artinya, orang lain yang berperilaku sejalan dengan watak-dasar individu etnik Madura dapat dengan mudah diperlakukan sebagai saudara kandungnya (pseudo-kinship). Sebaliknya, saudara kandung dapat diperlakukan sebagai orang lain jika seringkali mengalami ketidakcocokan pendapat, pandangan, dan pendirian (Wiyata, 2005: 4; Astro, 2006: 2).
Keunikan “budaya persaudaraan” tersebut , menurut Glaser & Moynihan (1981: 50) dapat terjadi karena adanya persamaan atau kesesuaian dengan keserupaan unsur-unsur penting primordial, misalnya genealogi (keturunan dan ikatan kekerabatan, sistem kepercayaan (agama dan ritulitasnya), dan kesamaan berbahasa. Dalam realitasnya, elemen primordial itu dapat membentuk identitas etnik baru sebagai identitas tersendiri yang yang teraktualisasikan dalam perilaku etnografinya. Oleh karenanya, elemen primordial di antara kelompok-kelompok etnik dapat menjadi unsur pembeda.