Carok sebagai sebuah bagian budaya, bukan berlangsung spontan atau seketika. Ada proses yang mengiringi sebelum berlangsungnya carok. Biasanya, solusi itu selalu dijadikan jalan efektif ketika harga diri orang Madura merasa terhina. Namun demikian selalu ada proses rekonsiliasi terlebih dahulu yang dilakukan sebelum terjadi carok. Pihak-pihak yang berada di sekitar pihak yang akan melakukan carok, selalu berposisi menjadi negosiator dan pendamai. Carok merupakan bagian budaya yang memiliki serangkaian aturan main, layaknya bentuk budaya lainnya.
Ketika akhirnya carok harus terjadi maka tetap ada aturan-aturan main yang melingkupinya. Pelaku carok harus membunuh lawannya dari depan dan ketika lawannya jatuh tersungkur, maka posisi mayat menentukan proses kelanjutan dari sebuah carok. Jika mayat jatuh dengan posisi terlentang, maka keluarga si mayat berhak melakukan balas dendam. Posisi mayat yang terlentang, seolah dijadikan komunikasi terakhir, yang dimaknai sebagai bentuk ketidakterimaan mayat terhadap kondisinya (yang menjadi korban carok). Akan tetapi, jika posisi mayat telungkup dengan muka menghadap tanah maka balas dendam menjadi tabu untuk dijalankan oleh keluarga yang menjadi korban carok.
Hingga saat ini, sebenarnya carok kadang terjadi dalam komunitas etnik Madura, baik di Madura maupun di daerah Tapal Kuda — Probolinggo, Lumajang, Jember, Bondowoso, dan Situbondo. Hanya saja, carok yang berlangsung bersifat individual. Kegagalan pemerintah sebagai penyelenggara utama administrasi bidang-bidang kehidupan di negara ini juga terlihat ketika kultur yang berbentuk kekerasan masih tetap terjadi di beberapa daerah. Pengetahuan sebagai warga bangsa masih terlampau kecil disadari oleh berbagai individu. Hal ini tentu saja karena tingkat pendidikan masih sangat rendah. Pendidikan agama dan religiusitas haruslah menjadi proses bagi manusia untuk mengetahui mana yang baik dan buruk sesuai dengan pertimbangan nurani dan akal. Selain itu, tokoh agama semisal figur kyai juga masih terlihat lemah dalam mengisi mental rakyat dengan siraman rohani yang mengutamakan persaudaraan dan perdamaian dalam menyelesaikan persoalan hubungan antarmanusia. Jika ada sinergi yang kuat antara peran lembaga pemerintah dan tokoh agama, tentu kekerasan kultural dapat dihapuskan.