Oleh : M. Farhan Muzammily
Kemerdekaan bangsa Indonesia 69 tahun yang silam tidak diperoleh dari pemberian bangsa lain, melainkan dari ikhtiar putra-putri terbaik bangsa ini. Termasuk juga upaya-upaya menjaga ‘bayi’ kedaulatan di dalamnya. Berbagai macam cara mulai dari adu kekuatan fisik di medan perang hingga jalur diplomasi politik di atas meja perundingan berlangsung dan dilalui nyaris tanpa putus. Yang dikorbankan juga tak sekadar harta benda, namun juga jiwa tanpa pandang usia dan jenis kelamin.
Di wilayah Madura yang relatif jauh dari hiruk pikuk perang besar seperti salah satunya perang Jawa (1825 M), tidak berarti sepi sama sekali dari perlawanan lokal. Sikap patriotik rakyat Madura yang lebih didasari oleh tradisi menjaga kehormatan dan harga diri serta cinta tanah air dibanding menjaga nyawa, membuat para pejuangnya lebih tidak takut mati. Penulis jadi teringat pada kisah terbunuhnya Pangeran Adipati Cakraningrat III (Sedingkapal) dan beberapa putranya di atas kapal VOC setelah mengamuk dengan menghabisi beberapa serdadu Belanda (diceritakan bahwa seluruh serdadu di kapal itu hampir habis dibunuh sang Pangeran bersama putranya dan beberapa pengikutnya) hanya karena sekadar salah paham mengenai perbedaan tradisi. Dalam skala makro (membela kebenaran universal), adu fisik ini menjadi perlawanan patriotik yang tidak bisa patah hanya karena hilangnya nyawa. Karena pada hakikatnya kebenaran merupakan akar yang bisa menumbuhkan kembali dedaunan yang berguguran akibat musim kemarau. Mungkin inilah salah satu alasan yang membuat beberapa putra-putri terbaik Madura rela kehilangan nyawanya, bahkan saat udara kemerdekaan sudah menggantikan pengapnya penjajahan pasca 17 Agustus 1945. Seperti yang terjadi pada KH Abdullah Sajjad dan Letnan R Mohammad Ramli. Dua di antara bunga-bunga bangsa yang namanya tetap harum hingga kini, khususnya di Sumenep Madura.
Martil Di Bumi Annuqayah
KH Abdullah Sajjad lahir di Guluk-guluk (Luk-guluk, lazimnya lidah warga sekitar dan Sumenep pada umumnya menyebut desa yang juga sekaligus menjadi nama kecamatan yang menaunginya) sekitar tahun 1890-an Masehi. Secara genealogis, ia lahir dari perpaduan darah Kudus dan Sumenep. Ayahnya KH Mohammad Syarqawi merupakan ulama pendatang asal Kudus, Jawa Tengah. Kiyai Syarqawi ini juga tercatat sebagai pendiri pondok pesantren an-Nuqayah Guluk-guluk Sumenep (meski nama an-Nuqayah justru ditetapkan sebagai nama pesantren ini jauh setelah wafatnya Kiyai Syarqawi). Sedangkan ibunya Nyai Mariyah adalah putri Kiyai Idris, tokoh agama asal desa Prenduan kecamatan Pragaan. Nyai Mariyah ini merupakan saudara kandung Kiyai Khothib, ayah KH Ahmad Jauhari, pendiri pondok pesantren al-Amien Prenduan.
Jadi secara nasab, Kiyai Abdullah Sajjad berasal dari kalangan elit pesantren. Asal usulnya ini kemudian lebih diperkuat oleh kedalaman ilmu yang lazim dimiliki para anak-anak kiyai setelah lama keluar kandang alias menuntut ilmu agama ke beberapa pesantren terkenal di masa itu. Tak hanya itu, Kiyai Sajjad juga berhasil menduduki kursi kepala desa Guluk-guluk setelah bersedia masuk bursa pencalonan. Jabatan ini didapat tidak lebih karena dilatarbelakangi oleh kepentingan da’wah. Memang secara karakter, Kiyai Sajjad merupakan tipologi pemimpin pesantren yang lebih aktif melakukan pembenahan eksternal. Sehingga kedekatannya dengan masyarakat sangat diakui. Bahkan informasinya saat setiap ada tetangga yang sakit, beliau bersama sebagian santrinya berkunjung sembari membacakan qasidah Burdah untuk mendoakan yang sakit itu. Sehingga dengan menjadi pemimpin desa, cita-citanya untuk menanamkan Islam secara institusional dipandang lebih mudah.
Pelantikan Kiyai Sajjad sebagai kalebun (kepala desa) hampir bersamaan dengan agresi militer Belanda tahun 1947. Belanda yang tidak menerima kedaulatan RI melakukan kontak fisik di daerah-daerah NKRI setelah sebelumnya melakukan gencatan senjata sebagai konsekuensi dari kesepakatan perjanjian Linggarjati. Padahal awalnya justru perjanjian Linggajati dianggap sebagai kekalahan diplomasi Indonesia karena Republik Indonesia terlalu banyak mengalah terhadap Belanda. Keuntungan yang didapat pihak Indonesia hanya berupa pengakuan de facto kekuasaan Indonesia atas pulau Jawa dan Sumatera, sedangkan keuntungan yang diperoleh pihak Belanda adalah memecah belah NKRI.
Gangguan kembali Belanda ini lebih memantapkan tekad Kiyai Sajjad untuk lebih aktif di ranah eksternal pesantren. Sehingga fungsi pesantren sebagai rumah ilmu untuk sementara digeser menjadi markas menyusun strategi perlawanan terhadap Belanda yang ingin kembali menjajah. Posisi pemimpin laskar Sabilillah yang awalnya dipegang kakaknya, kiyai Mohammad Ilyas, dialihkan ke kiyai Sajjad yang dibantu oleh keponakannya kiyai Khazin bin Mohammad Ilyas. Gerakan-gerakan untuk memutus akses Belanda ke Sumenep mulai dilancarkan. Namun tentu saja perang antar dua kekuatan yang tak seimbang kerap melahirkan resiko kekalahan di pihak yang lebih sedikit laskar dan minim persenjataan. Kondisi ini membuat Kiyai Sajjad dan keluarga besar an-Nuqayah terpaksa mengungsi ke tempat yang aman. Kiyai Sajjad sendiri dan kiyai Khazin bersembunyi di Karduluk di kediaman Kiyai Ahmad Bahar, saudara dekatnya. Sebelumnya sempat dianjurkan Kiyai Bahar agar sementara waktu keduanya bersembunyi di pulau Jawa, ternyata ditolak oleh kiyai Sajjad. Alasannya beliau tidak ingin meninggalkan warga dan keluarganya di guluk-guluk.
Setelah beberapa bulan lamanya bersembunyi, tepatnya di bulan November 1947, datang seorang santri utusan dari Belanda yang membawa kabar bahwa guluk-guluk sudah aman. Kiyai Sajjad tanpa berprasangka buruk akhirnya kembali ke Guluk-guluk, dan sempat melaksanakan shalat ashar dan maghrib dengan berjamaah bersama warga sekitar yang langsung beramai-ramai mengunjungi beliau. Namun ba’da shalat maghrib beberapa tentara Belanda tiba-tiba datang dan memaksa kiyai Sajjad agar menyerahkan diri. Hampir saja terjadi kontak fisik antara warga dan tentara Belanda, namun demi tidak terjadi korban di fihak warga, kiyai Sajjad rela menyerahkan diri. Selanjutnya beliau dibawa ke lapangan guluk-guluk dan dieksekusi di sana. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’un.