Bagi warga Pulau Madura, nama KH Alawy Muhammad sudah tidak asing lagi. Tokoh dan ulama Madura yang satu ini, memang dikenal keras dan tegas dalam berjuang untuk membela rakyat kecil, khususnya kaum petani di Sampang, Madura, Jawa Timur.
Perjuangan dan pembelaan KH. Alawy ini, dibuktikan ketika terjadi pembebasan tanah ratyat untuk pembangunan waduk di Nipah Sampang, yang kemudian dikenal dengan sebutan tragedi Nipah.
Kala itu, tepatnya pada 25 September 1993, tokoh ini getol membela petani Sampang yang terdampak pembangunan Waduk Nipah di Kecamatan Banyuates, Sampang. Pada saat itu masyarakat Banyuites menilai tempat tinggal bukan sekedar bermakna ekonomis, namun juga bermakna kultural, yakni tanah dipahami sebagai sebuah pusaka, peninggalan leluhur yang harus dijaga, dirawat dan dipertahankan. Tanah pusaka, atau tanah warisan bagi warga Nipah dan Madura pada umumnya, tidak boleh dijual, karena merupakan bentuk penghormatan kepada para pendahulu yang telah mewariskan tanah itu sebagai pusaka.
Namun, tampaknya pemerintah saat itu hanya melihat bahwa masyarakat Nipah yang meliputi delapan desa membutuhkan sebuah waduk irigasi untuk meningkatkan penghasilan pertanian menjadi dua kali lipat. Hal itu karena pemerintah melihat wilayah Nipah itu hanya sebagai hamparan lahan kering yang tak bermakna, sehingga perlu dimanfaatkan.
Dalam proses pembebasan tanah, masyarakat pemilik tanah tidak dilibatkan, sehingga menimbulkan reaksi keras dari pemilik tanah. Pemerintah dalam hal Pemkab Sampang kala itu tidak mengindahkan penolakan warga, bahkan melibatkan aparat keamanan, yakni TNI. Kebijakan tidak kooperatif pemerintah inilah yang menjadi perhatian KH Alawy Muhammad untuk melakukan advokasi kepada masyarakat di sekitar lokasi pembangunan waduk Nipah Sampang.