Kiprah dalam Dunia Pendidikan Pesantren
Hingga pada akhir dari tahun 1943 beliau telah keluar dari kelas 3 salāfiyah. Selang setengah tahun kemudian, jabatan kepala sekolah oleh Kiai Khazin dilimpahkan kepada beliau, karena saat itu Kiai Khazin bergabung dengan laskar Hizbullah untuk berjuang demi kemerdekaan. Kiai Khazin sendiri meninggal dunia pada tahun 1948 (Agresi Belanda II).
Kiai Mahfoudh, sekalipun diberi tugas untuk membina madrasah Ibtidaiyah, tetap mengaji kitab kepada Kiai Ilyas Syarqawi sambil belajar pengetahun umum secara otodidak, termasuk bahasa Inggris. Demikianlah, hari-harinya dilalui dengan aktivitas belajar-mengajar. Hal itu berlangsung hingga tahun 1947.
Kiai Mahfoudh bahkan sempat memimpin Latee selama kurang lebih setahun. Kursi kepemimpinan di Latee sempat vakum beberapa bulan lamanya dikarenakan pada tahun 1947 K. Abdullah Sajjad wafat di ujung senapan regu tembak tentara Belanda di lapangan Guluk-Guluk. Dan pada tahun 1951, Kiai Mahfoudh menikah dengan Nyai Arifah, putri dari K. Abdullah Sajjad yang membina santri-santri Annuqayah di daerah Latee.
Tahun 1950, dalam istilah Kiai Mahfoudh sendiri, adalah tahun ‘penyerahan kedaulatan’. Di tahun itu, Kiai Ashiem Ilyas yang turut mengelola madrasah berangkat menuntut ilmu ke Tebuireng lalu ke Jakarta guna mendapatkan pendidikan jurnalistik. Maka, sejak tahun 1951 Kiai Mahfoudh menggantikan perannya di bidang pengembangan madrasah. Beliau melakukan reformasi dengan melebur shifr awwal dan shifr tsani dengan kelas 1, 2, 3, dan 4 serta digabungkan dengan Madrasah Tsanawiyah. Itulah tahun-tahun pencerahan di mana beliau mendirikan Madrasah Ibtidaiyah dengan menggunakan sistem kelas seperti yang dikenal hingga sekarang ini. Perombakan dilakukan di sana-sini, baik dari segi materi maupun dari segi ketatausahaannya. Pada akhirnya, kelas 1 dengan sistem salafi kemudian dijadikan kelas 5. Sementara kelas 2 diubah menjadi kelas 6. Sedangkan kelas 3 diganti menjadi kelas 1 Tsanawiyah. Pada saat itulah dimasukkan beberapa disiplin pengetahuan umum ke dalam silabi madrasah sebagai materi tambahan. Dengan begitu, Kiai Mahfoudh harus menjabat rangkap yakni sebagai kepala Madrasah Ibtidaiyah sekaligus kepala Madrasah Tsanawiyah Annuqayah. Sistem kelas berlangsung hingga hampir sepuluh tahun, sampai akhirnya ada penambahan 1 kelas lagi untuk Tsanawiyah yakni kelas 3. Bahkan ditambah dengan kelas 4.
Pada waktu Kiai Ilyas Syarqawi tutup usia, yakni 1959, Madrasah Ibtidaiyah dipegang oleh Kiai Mahfoudh sementara Madrasah Tsanawiyah di bawah pimpinan Kiai Amir Ilyas. Selanjutnya, Kiai Amir melakukan reformasi dengan mengubah Madrasah Tsanawiyah menjadi ‘Madrasah Mu’allimin’ dengan jenjang studi 4 tahun. Mu’allimin sebenarnya merupakan cikal-bakal daripada sistem kelas sebagaimana Tsanawiyah-Aliyah yang ada saat ini. Dengan tetap mengedepankan pelajaran-pelajaran agama, di dalamnya juga diajarkan beberapa materi pengetahuan umum dan bahasa.