KH Moh Mahfoudh Husaini, Berkarir dari Politik sampai Menembus Dunia Pendidikan

Pada tahun 1965, di saat Madrasah Mu’allimin masih berada di bawah binaan Kiai Amir Ilyas, terjadi perubahan sistem untuk kedua kalinya. Masa studi 4 tahun kini diganti dengan masa studi 6 tahun. Menilik jenjang kelasnya, Mu’allimin tak ubahnya gabungan antara Tsnawiyah dan Aliyah. Dan demikianlah sistem tersebut berlangsung normal hingga beberapa tahun lamanya.

Baru di tahun 1979 turunlah peraturan pemerintah yang menyatakan bahwa ijazah Mu’allimin tidak diakui. Tidak boleh tidak, Madrasah Mu’allimin harus direformasi dan hadir dalam wajah yang baru juga. Maka Mu’allimin pun dibagi menjadi Madrasah Tsanawiyah Annuqayah dengan kepala sekolah Kiai Amir Ilyas dan Madrasah Aliyah Annuqayah yang dikepalai Kiai Warits Ilyas, adik Kiai Amir. Sementara itu, Kiai Mahfoudh masih setia untuk tetap berkonsentrasi membina Madrasah Ibtidaiyah yang telah dirintisnya.

Pada waktu itu, Departemen Agama Pusat, atas bantuan UNICEF, menunjuk madrasah­madrasah untuk dijadikan sampel, semacam madrasah percontohan. Adapun lembaga yang dijadikan sampel berjumlah sepuluh lembaga dalam tiap setahun. Dan pada tahun 1981,

Madrasah Ibtidaiyah Annuqayah ditunjuk sebagai salah satu lembaga yang menjadi sampel di Madura. Dan status ini bertahan selama empat tahun. Dikarenakan Madrasah Ibtidaiyah yang ditunjuk tersebut adalah madrasah putri, padahal waktu itu status ketatausahaannya masih mendompleng kepada Madrasah Ibtidaiyah putra, maka Kiai Mahfoudh mendirikan Madrasah Ibtidaiyah Annuqayah untuk putri yang secara administratif kini telah terlepas dari Madrasah Ibtidaiyah putra. Baik sarana dan prasarananya kini dipusatkan daerah Sabajarin, tempat beliau bermukim. Oleh sebab itu, Madrasah Ibtidaiyah Putra yang sebelumnya dipegangnya diserahkan kepada KH. Abdul Basith Abdulah Sajjad untuk mengelolanya.

Pada awal 80-an itulah Madrasah Ibtidaiyah mengkuti Ujian Negara untuk pertama kalinya dengan jumlah siswi lulus 8 orang. Berkat spirit dan dorongan dari berbagai pihak dan tentunya melihat prospek yang baik bagi didirikannya sekolah lanjutan, maka Kiai Mahfoudh mendirikan Madrasah Tsanawiyah putri pada tahun 1982 dengan 13 orang siswi.

Tapi, pada tahun 1984 jumlah siswi merosot hingga tinggal 8 orang saja. Kiai Mahfoudh dapat memaklumi hal itu di antaranya adalah kebiasaan wali murid yang segera menikahkan anaknya setamat kelas 6 Ibtidaiyah. Namun demikian, fenomena ini menurutnya tidak dapat disebut sebagai rendahnya kesadaran pendidikan dan tingginya kebiasaan menikahkan putrinya di waktu muda semata. Melainkan lebih karena lembaga yang menampung putri­-putri mereka itu hanya menyediakan tingkat pendidikan hingga kelas 6 ibtidaiyah saja. Terbukti sejak dibukanya Madrasah Tsanawiyah, tahun demi tahun jumlah murid Madrasah Ibtidayah Putri Annuqayah bertambah terus-­menerus. Pada tahun 2003, santri putri di Annuqayah berjumlah kurang lebih 2000­-an siswi yang belajar di berbagai madrasah di Annuqayah.

Pada tahun 1984, bersama dewan pengasuh Pondok Pesantrern Annuqayah, Kiai Mahfoudh berperan serta dalam membidani lahirnya perguruan yang kini bernama STIKA (Sekolah Tinggi Keislaman Annuqayah). Pada awalnya, sekolah tinggi ini dipimpin oleh Kiai Ashiem Ilyas.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.