Visi Pendidikan
Menurut beliau, pendidikan dan pengajaran berada pada posisi sebagai suatu usaha untuk membina sumber daya manusia (SDM), karena ia adalah faktor terpenting dalam pembangunan. Oleh karena itu, kita harus menjadikan diri kita sebagai manusia yang tidak saja mengenal urusan ukhrawi, tetapi juga urusan duiniawi. Pengenalan pada urusan ukhrawi harus didahulukan dan mendapat perhatian penting karena persoalan yang bersifat ukhrawi bersifat ghaib, tak dapat dilihat. Tidak demikian halnya dengan urusan dunia.
Tanpa diperkenalkan pun, manusia telah mengenal problematika kehidupan duniawi dengan sendirinya, bahkan berpacu untuk mendekatinya. Sayangnya, kita masih terjebak pada pemburuan urusan duniawi dengan melupakan uruasan ukhrawi. Contoh sederhana yang yang diajukan beliau adalah, sekalipun seseorang tahu bahwa ganjaran shalat berjamaah adalah 27 kali lipat dibanding dengan shalat sendirian, tetapi kebanyakan dari kita memilih meninggalkan shalat berjamaah ketika pada saat yang bersamaan ia dihadapakan pada sebuah jamuan makan istimewa misalnya. Hal itu menurut beliau disebabkan pada persoalan percaya dan meyakini: bahwa pahala shalat berjamaah itu adalah maya. Sementara hidangan yang lezat itu nyata. Maka wajar bila seseorang akan lebih tertarik untuk memilih yang dapat dilihat oleh mata saja. Memang, tandas beliau, “Suatu amal ibadah yang kelihatannya enteng tetapi terasa berat bila hendak dipraktikkan.”
Selain itu, beliau mengatakan bahwa pendidikan hendaknya dimulai dari komunitas terkecil yaitu keluarga. Sebab Islam sangat menjunjung tinggi nilai-nilai pendidikan yang harus kita turunkan kepada keturunan kita. Bahkan, pendidikan sudah dimulai sebelum anak dilahirkan ke dunia ini. Oleh karena itu, anak, sebagai anggota keluarga yang akan mewarisi orang tuanya, haruslah mendapat pendidikan yang sebaik-baiknya. Anak ideal adalah anak yang dapat melakukan pengabdian dan dapat menjauhi segala larangan.