KH. Zaini Mun’im Sosok Ulama Pencinta Ilmu

Perjuangan dan Pengabdian di Organisasi

Sejak masa muda, KH. Zaini Mun’im aktif dalam medan perjuangan. Beliau memberikan perhatian yang sangat tinggi terhadap berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat, bangsa dan negara. Beliau terlibat aktif dalam perjuangan membela hak-hak masyarakat, membela keutuhan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pada masa penjajahan Jepang, beliau dipercaya sebagai pimpinan Barisan Pembela Tanah Air (PETA). Selanjutnya pada masa perang kemerdekaan, beliau juga dipercaya sebagai pimpinan Sabilillah ketika melakukan Serangan Umum 16 Agustus 1947 terhadap bala tentara Belanda yang menguasai Kota Pamekasan. Beliau termasuk tokoh pejuang yang menjadi target operasi Belanda, yang dikejar-kejar karena kegigihan beliau dan sikap pantang menyerah dalam melawan kekuatan penjajah.

Dalam bidang keagamaan dan sosial kemasyarakatan, beliau aktif dalam perjuangan Jam’iyah Nahdlatul Ulama, baik ketika beliau masih berada di pulau Madura maupun setelah hijrah ke tanah Jawa. Melalui NU beliau melakukan aktivitas amar ma’ruf nahi munkar, membela hak-hak masyarakat dan membangun kehidupan masyarakat semakin tercerahkan. Di tengah-tengah kesibukan beliau dalam aktifitas pengelolaan pesantren, beliau masih memberikan waktu yang cukup untuk menangani secara langsung permasalahan-permasalahan yang dihadapi masyarakat, baik dalam bidang keagamaan, maupun sosial ekonomi, terutama yang menyangkut nasib petani.

Ketika beliau masih berada di Madura, belaiu aktif di Cabang NU Pamekasan, maka pada saat beliau hijrah ke tanah Jawa (Tanjung Paiton), beliau aktif di Cabang NU Kraksaan, bahkan di Wilayah NU Jawa Timur. Sekitar tahun 1951, KH. Zaini Mun’im kedatangan tamu istimewa, yaitu KH. Hasan Sepuh Genggong, KH. Abdul Latif dan KH. Fathullah (Pengurus NU Cabang Kraksaan) untuk mengajak agar KH. Zaini Mun’im bersedia berjuang membina warga melalui organisasi NU Cabang Kraksaan.

Ajakan ketiga kiai ini kemudian beliau sambut dengan tangan terbuka. Dan ketika pada tahun 1953, Rois Syuri’ah Cabang NU Kraksaan, KH. Abdul Latif meninggal dunia, maka sebagai gantinya KH. Zaini Mun’im dipilih dan diangkat menjadi Rois Syuriyah Cabang NU Kraksaan dan terus bertahan sampai dengan tahun 1975. Kemudian pada Muktamar NU ke 21 di Medan (Sumatera Utara) Desember 1956, KH. Zaini Mun’im terpilih sebagai salah satu anggota dewan Partai NU dari 79 orang yang terpilih. Sejak menjadi anggota dewan Partai NU ini, keterlibatan beliau di bidang politik Nasional semakin menonjol. Dan selanjutnya pada tahun 1960, beliau terpilih sebagai Wakil Rois Pengurus Wilayah (PW) NU Jawa Timur.

Sebagai tokoh NU, KH. Zaini Mun’im tidak suka jika ummat dikotak-kotakkan atau dibeda bedakan. Bahkan beliau marah jika perselisihan yang ada antara NU dan Muhammadiyah terus dipertajam. Beliau lebih suka mencari persamaan persamaannya daripada mempertajam perbedaannya. Meski beliau mengakui jika di antara keduanya tetap ada perbedaan. Sikap beliau yang tidak suka terhadap pengkotak-kotakan ummat tercermin pula dari arahan beliau kepada para santri di Pondok Pesantren Nurul Jadid. Beliau senantiasa mengarahkan santri Nurul Jadid agar di tengah-tengah masyarakat melebur dengan masyarakat yang lain, beliau tidak rela santri terkotak-kotak, beliau marah ketika ada kelompok santri berkegiatan di masyarakat dengan membawa nama atau bendera Pondok Pesantren Nurul Jadid.

Beliau sosok pejuang yang tak mengenal lelah, naik-turun gunung, keluar-masuk pelosok desa menjalankan misi kerisalahan Nabi Muhammad SAW, menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, memberikan advokasi kepada masyarakat, memberikan pembelaan dan perlindungan terhadap hak-hak rakyat. Beliau tidak pernah surut dalam medan perjuangan, walaupun beliau harus menerima resiko dimasukkan penjara karena kegigihan beliau membela hak-hak rakyat, khususnya pada saat itu pembelaan terhadap petani tembakau.

Bagi beliau perjuangan adalah harga mati, hal ini dicerminkan dalam salah satu fatwa beliau: “Orang yang hidup di Indonesia kemudian tidak melakukan perjuangan, dia telah ber¬buat maksiat. Orang yang hanya memikirkan masalah ekono¬minya saja dan pendidikannya sendiri, maka orang itu telah berbuat maksiat. Kita semua harus memikirkan perjuangan rakyat banyak, bagaimana agar hukum hukum Allah yang ada dalam Al-Qur’an, baik yang tersirat maupun yang tersurat, dapat berlaku di bumi Indonesia.”

Dalam hubungan NU dan Politik, suatu pemikiran cemerlang beliau sampaikan pada Muktamar NU ke 25 pada tanggal 20 s/d 25 Desember 1971 di Surabaya. Dasar dasar pemikiran untuk kembali ke Khittah sudah dimunculkan oleh KH. Zaini Mun’im, saat itu beliau meminta agar program prog¬ram NU dapat dipisahkan antara kegiatan politik dan kegiatan kemasyarakatan, menjelang menghadapi perubahan sistem kepartaian dalam perpolitikan di Indonesia mendatang. “Jika NU tidak mau memisahkan secara jelas antara kegiatan politik dan kemasyarakatannya, maka Islamnya yang akan menjadi korban,” tegas Kiai Zaini.

Tapi, karena saat itu sayap politik tokoh tokoh NU masih sangat kuat dan KH. Idham Chalid masih memiliki pengaruh besar, maka keinginan (politic feeling) Kiai Zaini itu belum bisa menjadi keputusan Muktamar. Namun dua tahun kemudian, apa yang menjadi pernyataan Kiai Zaini di atas benar-benar terbukti. Pada tahun 1973, terjadi perubahan sistem kepartaian dalam per¬politikan di Indonesia; Pemerintah melakukan peleburan (Fusi) dari banyak partai menjadi dua partai politik: Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Sementara Golkar menjadi kekuatan yang mandiri, tidak melakukan fusi. Dan Partai NU bersama partai-partai berbasis Islam lainnya fusi ke dalam PPP. Dalam kondisi tersebut, kekuatan NU menjadi tereduksi bahkan terkoptasi oleh kekuatan lainnya.

Sejalan dengan kebijakan fusi Partai NU dan Partai berbasis Islam lainnya ke dalam PPP, dan adanya kebijakan pemerintah agar lambang partai menggunakan lambang-lambang yang ada pada garuda pancasila, maka beliau melakukan gerakan mencari dukungan dari Ulama sejawa untuk mengusulkan kepada Presiden Republik Indonesia, Bapak Soeharto agar kemauan PPP untuk menggunakan gambar Ka’bah sebagai lambang partai dapat diterima, dan akhirnya usulan beliau dapat diterima oleh Presiden.

Response (1)

  1. K. MAHDAR (MBAH) ADALAH SANTRI K.H. ZAINI SEMASA DI GALIS MADURA, KETIKA BELIAU HIJRAH KE SUKOREJO KARENA PESANTREN BELIAU DI BAKAR OLEH PENJAJAH, BELIAU PERNAH MEMBELI SAWAH YANG MERAWAT ADALAH K. MAHDAR. LALU DI JUAL LAGI UNTUK DIBELIKAN DI PAITON

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.