Kiai Abdullah Sajjad adalah putra keempat Kiai Moh. Syarqawi dan istri yang bernama Nyi. Qamariyah (Nyè Mariyah). Beliau adalah adik kandung Kiai Moh. Ilyas. Ada yang mengatakan bahwa nama belakang “Sajjad” merupakan nama asli beliau sejak lahir, karena ayahandanya ingin agar menjadi seorang yang ahli bersujud atau beribadah, Dan pendapat lain mengatakan, bahwa kata “Sajjad” merupakan gelar bagi beliau, karena beliau setelah wafat (gugur ditembak Belanda) dalam keadaan bersujud kepada Allah. Namun di tengah masyarakat dengan sebutan “Kiai Latee, karena beliau selaku pengasuh Pondok Pesantren yang berdomisili di kampung atau pedukuhan Latee.
Yang menarik dan nama pedukuhan ini, konon nama “Latèè” merupakan pengabadiannya terhadap seseorang yang memiliki daerah pedukuhan tersebut. Pemilik tanah tersebut adalah Kiai Latee dan Nye Latee yang dengan rela hati jariyahkan tanah kepada Kiai Abdullah Sajjad.
Di lain pihak juga ada orang yang mengatakan bahwa “Latèè” adalah nama tempat yang digunakan untuk “alatèè” (melatih) bela diri dalam persiapan perang para anggota Sabil saat kan bertempur melawan penjajah (Jepang dan Belanda). Karena di lokasi tersebut dijadikan sebagai tempat penggemblengan dan latihan, maka selanjutnya pedukuhan/kampung tersebut dikenal dengan nama Latee, di Pondok Pesantren Annuqaayah Guluk-Gulluk, Sumenep.
Kiai Abdullah Sajjad adalah profil seorang guru yang ulet, sangat tekun dalam mengajar santri serta masyarakat umum, hampir tak ada kesempatan baginya untuk beristirahat barang sejenak. Pada masa-masa awal, beliau memberikan pengajian kitab kuning setiap usai sholat jama’ah lima waktu. Tapi pada masa selanjutnya, pengajian dilaksanakan pada waktu pagi, sore dan setelah sholat ‘Isya’. Pada waktu-waktu tersebut beliau selalu sibuk memberikan pelajaran agama bagi para santri, sedangkan pengajian al-Qur’an dilaksanakan setelah sholat Shubuh.