Khusus malam Ahad ba’da sholat ‘Isya’, beliau memberikan pengajian kepada masyarakat umum, kegiatan tersebut ditekuni sejak tahun 1920. Pada mulanya pengajianya diikuti oleh masyarakat sekitar pondok pesantren, tapi perkembangannya semakin lama semakin banyak masyarakat yang tertarik, sehingga menjelang tahun tiga puluhan, pengajian itu tidak saja diikuti oleh masyarakat sekitar pesantren, tetapi juga oleh tokoh-tokoh masyarakat dan berbagai daerah di Sumenep dan Pamekasan. Sedangkan Kiai Moh. Ilyas baru membuka pengajian untuk másyarakat pada masa pendudukan Jepang, yang dilaksanakan setiap hari Ahad dan Rabu. Pengajian yang dibuka oleh Kiai Abdullah Sajjad lebih berbentuk Majelis Ta’lim dan tempat berkumpul (konsolidasi) masyarakat dan pada hanya mengaji kitab saja, sehingga mungkin karena tujuan itu pula, kitab yang dikaji lebih banyak kitab-kitab kecil (yang sederhana pembahasannya).
Ketika Jepang mendarat di Pulau Madura, keadaan masyarakat miskin semakin memprihatinkan, Jepang merampas hasil pertanian sehingga masyarakat banyak yang kelaparan. Keadaan mi berpengaruh terhadap keadaan pondok pesantren sehingga banyak santri yang pulang kampung, namun demikian keadaan pengajian maupun kegiatan ritual lainnya di pondok tetap berlangsung. Kegiatan semacam ini terus berlanjut hingga ketika tentara Belanda kembali lagi ke Indonesia pada tahun 1947. Selanjutnya semua kegiatan pengajian kitab kuning terhenti sementara ketika tentara Belanda datang lagi.
Sebagai seorang tokoh masyarakat dan Ulama, Kiai Abdullah Sajjad merasa memiliki tanggung jawab untuk membantu meringankan beban yang diderita masyarakat. Beliau tidak bisa berpangku tangan melihat masyarakat yang sedang berada dalam keadaan sengsara. Karena tuntutan situasi itulah, Kiai Abdullah Sajjad kemudian memfokuskan kegiatannya pada perjuangan melawan tentara Belanda dengan cara bergerilya. Beliau beranggapan bahwa penjajahlah yang menyebabkan bangsa ini sengsara, merekalah sumber malapetaka di mana-mana.
Pendidikan untuk sementara ditinggalkan dan pesantren berubah fungsi menjadi markas tentara dan tempat menyusun strategi perang, sedangkan para santri (terutama yang masih kecil) dianjurkan untuk pulang. Kemudian mengkoordinir kelompok pejuang yang dikenal dengan sebutan barisan Sabilillah
Begitu tentara Belanda menguasai wilayah Guluk-guluk maka Kiai Abdullah Sajjad mengungsi ke dusun Brumbung Pragaan. Bahkan ketika tentara Belanda tidak bisa dibendung lagi dan mulai memasuki wilayah Sumenep. Dan pesantren sempat ditinggal selama kurang lebih 4 bulan. Pada suatu ketika di tempat pengungsian, ada utusan Belanda menyampaikan surat dan TVG (Inlichtingen Velligheids Groep) yang isinya: Saudara Sajjad, silahkan pulang kampung kami tidak akan menahan saudara”