Bahkan beliau rela menebusnya dengan nyawanya sendiri dari pada menuruti kemauan penjajah. Ketika itu beliau ditembak hingga dua kali tapi tidak mempan, dan kebetulan di sana ada beberapa orang matamata Belanda (orang pribumi) yang mengetahui kelemahannya, dari memberitahukan bahwa beliau akan tembus peluru bila ditembak di lidahnya.
Setelah merasa bahwa dirinya akan menemuhi ajal maka Kiai Abdullah Sajjad meminta idzin kepada Belanda agar diberi kesempatan melaksanakan Sholat sunnah. Permintaannya dituruti oleh Belanda, dinihari dikala beliau sedang khusyu’ dalam shoIatnya, lalu letusan peluru senapan serdadu Belanda menerjangnya, seketika itu tubuh beliau tersungkur dalam posisi sujud, beliau menghadap kehadirat Dzat Yang Maha Kuasa dalam keadaan sahid.
Suasana di Pondok Pesantren sekitar waktu sholat ‘Isya mendengar letupan senjata beberapa kali (ada yang mengatakan tiga kali). Tapi semua pejuang dan para santri masih belum berprasangka apapun, karena mereka mengira bahwa letupan itu adalah sebagal tembakan peringatan saja. Pada jam 03.00 dini hari, terdengar berita yang tidak disangka-sangka dan begitu rnengejutkannya.
Dikabarkan bahwa ada sesosok tubuh manusia yang tergeletak tak bernyawa di lapangan Kemisan. Demi mendengar berita itu, semua santri / pengikutnya merasa penasaran dan khawatir. Mereka dihantui oleh prasangka buruk dan rasa takut serta curiga karena Kiai Abdullah Sajjad tidak kembali lagi ke tengah mereka sejak bersama Belanda. Tak ada seorangpun yang berani mendekat ke lapangan, karena tentara Cakra dan Belanda dalam keadaan siaga penuh. Pada akhirnya ada seorang santri yang juga sahabat dan tetangganya memberanikan din untuk melihat keberadaan sosok tak bernyawa tersebut.