Pejuang Kemerdekaan
Dibacakannya teks proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945 merupakan wujud kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajahan. Namun sayang, meluapnya ambisi imprealistik menyebabkan Belanda kembali menjajah paska kemerdekaan 1945. Penjajah terus meluaskan wilayah ekspansinya hingga ke wailayah Madura. Ketika Belanda untuk kedua kalinya memasuki Madur pada tahun 1947, kepemimpinan Laskar Sabilillah di Sumenep yang semula dipegang Kiai Mohammad Ilyas diserahkan kepada Kiai Abdullah Sajjad yang pada saat itu beliau baru menjabat klebon (kepala desa) Guluk-Guluk. Melalui institusi itulah Kia Abdullah Sajjad menghimbau dan mengajak para warganya untuk terlibat dalam jalur politik : politik membela agama, bangsa, dan negara. Dihimpunlah masyarakat dalam wadah yang disebut dengan Laskar Sabilillah: suatu wadah yang difungsikan untuk menggalang dan menghimpun kekuatan dalam menentang penjajah yang kembali menguasai Sumenep. Ajakan ini mendapat respons yang positif dari warga masyarakat. Apresiasi masyarakat terhadap seruan kiai tentu saja ditopang oleh pola kehidupan masyarakat yang telah terbentuk dengan kokoh dan pada saat yang sama kedudukan kultural kiai pada saat itu telah mapan. Di pihak yang lain penindasan penjajah kian meningkat dan disinilah mulai terbentuk solidaritas bersama untuk menghadapi penjajah sebagai common enemy