Kiai Zainal Arifin lahir dari keluarga yang akrab dengan lingkungan pesantren dari pasangan Kiai Thalabudin dan ibu Nyai Aisyah, yang semenjak kecil bernama Lora Zainal Abidin. Sebutan lora diawal namanya adalah untuk memastikan bahwa yang bersangkutan adalah putra kiai di daerah Madura dan tapal kuda sebagaimana sebutan Gus atau Mas untuk putra kiai di wilayah Jawa. Baru kemudian terjadi perubahan nama, setelah mengerjakan ibadah haji sebagaimana perubahan nama juga menjadi salah satu tradisi masyarakat Madura yang telah melakukan ibadah haji.
Secara nasab, bila dirunut ke atas, baik dari jalur Kiai Thalabudin atau Nyai Aisyah, Lora Zainal adalah keturunan Sunan Giri melalui jalur Sunan Cendana Kwanyar Bangkalan di satu sisi dan keturunan Brawijaya V, raja terakhir Mojopahit melalu jalur Lembu Peteng. Dengan begitu, maka dapat dipastikan bahwa dalam diri Lora Zainal terdapat titisan darah ulama, sekaligus darah para raja Jawa.
Lora Zainal, selanjutnya disebut, dilahirkan di desa Tarate pada tahun 1293 atau bertepatan dengan tahun 1877 M. Beliau terlahir dalam keadaan yatim, mengingat ayahnya Kiai Thalabudin meninggal sebelum lahir. Kondisi ini sudah diprediksi oleh Kiai Thalabudin, ketika berpesan kepada istrinya, Nyai Aisyah yang sedang hamil lima bulan bahwa dirinya tidak akan lama lagi meninggal dunia sesuai dengan isyarat yang didapat. Karena itu, jika benar-benar melahirkan anak laki-laki, maka berilah nama Zainal Abidin, tegas Kiai Thalabudin kepada istrinya, Nyai Aisyah.
Selang beberapa bulan kemudian Kiai Thalabudin benar-benar ditakdirkan oleh Allah SWT. meninggal pada 18 Dzulhijjah 1293, yang bila dikonvensi ke kalender masehi tepat pada hari Rabu 3 Januari 1877 M. Perasan sedih dialami oleh Nyai Aisyah, termasuk keluarga besar pesantren. Tapi, selang beberapa bulan ditahun yang sama, Nyai Aisyah akhirnya benar-benar melahirkan laki-laki dan selanjutnya diberi nama Zainal Abidin sesuai pesan dari suaminya, yakni Kiai Thalabuddin, sebelum meninggal.
Dalam kondisi lahir yatim memastikan tumpuhan hidup Lora Zainal kecil bergantung kepada sang ibu, Nyai Aisyah. Pastinya ada perjuangan dan tantangan tersendiri ditinggal ayahnya, Kiai Thalabudin, yang tidak dialami oleh saudara-saudara lain. Pasalnya, Lora Zainal adalah anak terakhir dari empat bersaudara, yaitu Kiai Sholehuddin Situbondo, Nyai Syafiyah Tanggul dan Nyai Shalehah. Di samping itu, Lora Zainal juga memiliki dua saudari lain ibu, yang bernama Nyai Aminah dan Nyai Atiyah dari istri kedua Kiai Thalabudin, yang bernama Nyai Absari dari Batoan.
Jejak Pendidikan Sang Kiai
Kondisi ditinggal ayah semenjak kelahirannya, dapat diyakini bahwa peran ibunya, Nyai Aisyah sangat penting dan strategis dalam proses kehidupan serta keberhasilan Lora Zainal. Hidup dalam lingkungan pesantren menjadi jalan bagi Lora Zainal untuk mengenal lebih mudah tradisi-tradisi pesanten sejak dini. Berkat bimbingan keluarga, khususnya Nyai Aisyah mengantarkan Lora Zainal mempelajari ajaran Islam dan ilmu-ilmu yang terkait, terlebih dimulai dengan belajar membaca al-Qur’an dengan baik sebagai kebutuhan awal sebagai Muslim.
Lebih dari itu, Beliau juga belajar beberapa kitab kuning yang diajarkan di pesantren peninggalan ayahnya dengan tekun. Baru setelah dipandang cukup umur, Lora Zainal merantau untuk nyantri ke pondok pesantren lain di Madura. Pastinya, proses nyantri dilakukan selalu mendapat restu dari Nyai Aisyah, yang menjadi penentu laju kehidupan Lora Zainal. Ada dua pondok pesantren di Madura yang sempat menjadi jujukan Lora Zainal untuk melanjutkan pendidikan, yakni pondok pesantren Karay Sumenep dan pondok pesantren Syaikhana KH. Muhammad Kholil Bangkalan.
Pertama, pondok pesantren Karay Ganding Sumenep adalah salah satu pesantren tua di Sumenep yang pada era Lora Zainal diasuh oleh KH. Imam ibn Mahmud. Perlu diketahui keluarga pesantren Karay masih memiliki hubungan nasab dengan keluarga Lora Zainal. Karenanya, dengan nyantri di pesantren Karay, Lora Zainal memperoleh dua hal sekaligus, yakni sebagai santri untuk mendalami ajaran Islam serta ilmu-ilmu terkait dalam kitab kuning di satu sisi, dan di sisi yang berbeda sebagai sarana merajut silaturrahim antar sesama famili dari jalur leluhurnya.
Menurut catatan, di pondok pesantren ini, kecintaan Lora Zainal kepada ilmu sangat nampak, bahkan setiap yang dikajinya selalu dipahami dengan mudah. Tidak salah dalam banyak hal, Lora Zainal menjadi rujukan para santri kaitan dengan pemahaman kitab kuning yang dianggap sulit. Dengan begitu, beliau sangat disegani oleh para santri sebab kedalaman pikirannya dalam memahami kitab kuning. Menariknya, Lora Zainal tetap tawadhu’ dalam setiap menjawab pertanyaan dengan mengatakan bahwa apa yang dijelaskan olehnya merupakan penjelasan dari gurunya, Kiai Imam, dengan harapan tidak merasa mengandalkan akalnya sendiri.
Kedalaman ilmu Lora Zainal lambat laun mendapat pantauan serius dari Kiai Imam sehingga mendorongnya untuk segera pulang ke rumah Tarate. Anjuran pulang ini diharapkan agar Lora Zainal membuka pesantren sendiri sehingga dapat menyebarkan ilmu kepada masyarakat secara luas sebagai wujud melanjutkan spirit dakwah yang telah lebih dulu dilakukan oleh para leluhur. Atas perintah ini, akhirnya Lora Zainal pulang dan tidak begitu lama dari kepulangannya itu ternyata beliau dinikahkan dengan gadis pilihan ibunya, yang belum ditemukan namanya.
Sepanjang hidup bersama istrinya, aktivitas Lora Zainal lebih banyak beribadah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Semangat dan istiqamahnya dalam beribadah menjadi sebab Lora Zainal memperoleh isyarat langit dengan bentuk suara ghaib, yang intinya agar beliau melanjutkan untuk berkelana menuntut ilmu. Tidak mau berlama-lama, Lora Zainal menuntut ilmu kembali ke pesantren Karay, setelah mendapat restu ibunya. Tapi, sayang sang Guru, Kiai Imam menolaknya dan menganjurkan Lora Zainal agar belajar ke pondok pesantren di Bangkalan asuhan Syaikhana KH. Muhammad Kholil ibn Abdul Lathif.