Legenda Mata Air Kampung Taposan
Kampung Taposan, di desa Lalangon Kecamatan Manding tenyata menyimpan destinasi wisata. Di tempat yang agak jauh dari keramaian ini memiliki sebuah legenda unik yang hingga saat ini masih luput dari goresan tinta para Sejarahwan Sumenep. Legenda tersebut juga tidak bisa dilepaskan dari asal usul nama kampung tersebut.
“Itu ada cerita tutur turun temurun yang awalnya berasal dari sebuah mata air yang ada di kampung ini,” kata Ahmad Mudzakkir, adik H. Kurniadi.
Mudzakkir lalu memulai ceritanya. Sekitar abad 18 silam, di suatu waktu Panembahan Sumolo melakukan perjalanan dengan melewati perbukitan di desa Lalangon. Hingga suatu saat salah satu putri beliau yang turut serta merasa haus, ingin minum. Namun persediaan air minum yang dibawa sudah habis.
“Lalu Panembahan Sumolo memerintahkan abdinya untuk mencari air. Tapi memang di sini waktu itu tidak ada perumahan penduduk. Cuma di puncak bukit ada orang yang bertapa, yaitu Kiyai Baghdi itu,” cerita Mudzakkir.
Abdi keraton lalu menanyakan apakah ada sumber air di tempat tersebut. Lalu Kiyai Baghdi turun dan menemui Panembahan Sumolo. Lalu Kiyai Baghdi menancapkan tongkatnya ke tanah dua kali, dan menyemburlah air jernih. Tancapan tongkat yang pertama air yang menyembur hanya ‘sataposan’ atau satu tegukan minum. Baru di tancapan tongkat kedua air keluar tanpa henti. Sehingga putri Raja dan seluruh rombongan keraton bisa minum.
“Nah, saat itulah kemudian Panembahan Sumolo berkata bahwa mata air tersebut diberi nama Taposan. Dari kata ‘sataposan’ itu,” kata Mudzakkir.
[junkie-alert style=”green”] Panembahan Sumolo menurut Mudzakkir juga berkata bahwa mata air itu hanya bisa mengaliri kampung taposan. Artinya, jika dicoba dialirkan ke luar kampung, air tersebut tetap tidak bisa keluar dari batas kampung Taposan. [/junkie-alert]
“Dulu ada yang mencoba membuat irigasi melalui sumber taposan, ke kampung-kampung lain. Namun tidak bisa alias berhenti mengalir. Padahal air sumbernya banyak,” pungkas Mudzakkir.
Sumber taposan tersebut diperlebar oleh Panembahan Sumolo sehingga menjadi seperti sebuah taman pemandian. Saat ini kondisi taman sudah tidak terawat. Airnya juga sudah tidak melimpah. Namun sisa-sisa bangunan, seperti dinding pembatas antara pria dan wanita masih berdiri kokoh. (rm. farhan muzammily)
saya temurun dari Keluarga Kudonatpodho & Pratamingkusumo…wass