Polarisasi kesenian dan masyarakat kesenian di Madura —sebagaimana diuraikan di atas— menemukan paralelismenya dalam polarisasi masyarakat Madura di zaman kolonial. Karena itu, polarisasi masyarakat kesenian Madura dewasa ini dapat dipandang sebagai berakar pada, atau sekurang-kurangnya merupakan dampak-tak langsung dari polarisasi masyarakat Madura zamal kolonial tersebut. Untuk sebagian, akar-akar polarisasi di zaman kolonial ini dapat menjelaskan kuatnya lingkungan budaya pesantren “menutup diri” terhadap kebudayaan luar, dan lambannya lingkungan budaya pesantren menerima modernitas. Dalam konteks itu, tampak ada gejala atau pola yang relatif permanen, namun pastilah terjadi juga pergeseran yang sangat berarti. Tentu saja, baik gejala permanen maupun pergeseran sosial-budaya tersebut berdampak juga pada psiko-sosial masyarakat Madura yang terpolarisasi itu hingga sekarang.
Polarisasi masyarakat Madura bermula sejak paroh kedua abad ke-19, ketika Belanda mendirikan sekolah pribumi dan sekolah Eropa untuk anak-anak Belanda di Pamekasan pada tahun 1862. Sekolah-sekolah sejenis didirikan juga di Bangkalan dan Sumenep dua tahun kemudian. Mata pelajaran meliputi membaca, menulis, berhitung, dan ilmu bumi. Bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Madura, Jawa, dan Melayu, sedangkan huruf yang digunakan adalah huruf Jawa dan Latin. Tujuan pendidikan terutama diarahkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan personel di bagian administrasi untuk mengembangkan struktur kantor-kantor pemerintah. Namun secara umum sekolah-sekolah pribumi ini dipandang kurang berhasil, antara lain karena para bangsawan enggan memasukkan anak-anak mereka ke sekolah pribumi. Para bangsawan lebih tertarik mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah Eropa. Karena itu, sementara jumlah siswa sekolah pribumi terus menurun, jumlah siswa sekolah Eropa terus meningkat hingga akhir abad ke-19 (Kuntowijoyo 2002a: 187-194). Bisa dipastikan, bahasa pengantar dan huruf yang digunakan di sekolah Eropa adalah bahasa Belanda dan huruf Latin.
Sekolah model Barat ini diperkenalkan kepada pribumi ketika pendidikan tradisional agama langgar dan pesantren sudah dikenal luas di tengah masyarakat. Bahkan di akhir abad ke-19 itu, pesantren menunjukkan pengaruh sosialnya yang semakin luas, dan banyak pesantren tengah giat-giatnya mengembangkan diri. Kiai Umrah Zubair (w. 1890) di Sumberanyar (Pamekasan), Kiai Khalil (w. 1923 [1925?]) di Bangkalan, Kiai Abdul Hamid Itsbat (w. 1926) di Banyuanyar (Pamekasan), Kiai Syarqawi (w. 1910) di Guluk-guluk (Sumenep), dan Kiai Chatib (w. 1930) di Prenduan (Sumenep) adalah sebagian kiai-kiai pesantren yang sangat berpengaruh pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Dan, terutama sebagai gerakan sosial-keagamaan di tingkat lokal, aktivitas mereka tampak sangat agresif.
Pengaruh mereka bahkan tidak hanya terbatas di kalangan masyarakat Madura, melainkan juga masyarakat Jawa. Sebagai contoh, di samping berasal dari Madura sendiri, sebagian santri Kiai Umrah Zubair —dia melanjutkan kepemimpinan pesantren yang dirintis orangtuanya— berasal dari Bondowoso dan Panarukan (Iik Arifin Mansurnoor 1990: 43). Lingkup pengaruh sosial Kiai Khalil Bangkalan pasti lebih luas lagi, sebab banyak santrinya kelak mendirikan pesantren —yang kemudian menjadi pesantren-pesantren besar— di Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Barat (Abdurrahman Mas’ud 2004: 162). Tentu saja, luasnya pengaruh para kiai ini dengan segera memapankan pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional agama di tingkat rakyat kebanyakan.
Dengan konstelasi seperti itu, maka pendidikan terpolarisasi ke dalam pendidikan agama (pribumi) dan pendidikan kolonial (Belanda). Hal tersebut kemudian menentukan pola hubungan selanjutnya antara ulama dan para santrinya di satu pihak dengan pemerintahan kolonial dan para kolaborator lokalnya di pihak lain. Kecenderungan ini terus berlangsung, kemudian menimbulkan keengganan masyarakat desa terhadap sekolah buatan Belanda, sekaligus melanggengkan kecurigaan pemerintah kolonial terhadap pesantren (Iik Arifin Mansunoor 1990: 43). Polarisasi pendidikan ini kian nyata dan kian keras, didorong pula oleh kemarahan masyarakat desa terhadap pemerintah kolonial dan para kolaborator lokalnya di kota, yang bukan saja merugikan, melainkan juga memeras mereka melalui sistem perpajakan, pengerjaan tanah garapan, dan lain-lain. Hampir dalam semua hal, ketentuan sistem perpajakan dan terutama sistem pengelolaan lahan pertanian ditentukan secara sepihak oleh pemerintah. Pada abad ke-19, keadaan sedemikian buruk: rakyat Madura “hidup dalam keadaan ‘mendekati perbudakan’” (Huub de Jonge 1989: 77).