Tidaklah mengherankan kalau para ulama kemudian menjadi pusat-pusat perlawanan terhadap pemerintahan kolonial. Perlawanan yang terorganisasi relatif baik untuk pertama kali pecah pada akhir abad ke-19, tepatnya tahun 1895, di desa Prajan, subdistrik Darmacamplong, Sampang, ketika Kiai Semantri atau Kiai Lanceng dicurigai Belanda sebagai menghembuskan perasaan antipenguasa kolonial kepada penduduk desa (Kuntowijoyo 2002: 337-345). Belanda beberapa kali mengutus bawahannya dengan tugas menangkap Kiai Semantri, namun masyarakat desa berhasil melindunginya dan berhasil pula mengusir utusan Belanda itu. Hingga akhirnya Belanda mengirimkan tentara dengan missi khusus menangkap Kiai Semantri. Bersembunyi di balik tikar di langgarnya dan dilindungi oleh pengikut-pengikutnya, Kiai Semantri akhirnya tertangkap setelah perkelahian sengit beberapa saat berlangsung. Semantri ditangkap bersama seorang perempuan dan 4 orang santrinya, lalu dijebloskan ke penjara di Pamekasan.
Perlawanan terus berlanjut pada awal abad ke-20. Tapi tampaknya semangat melawan lebih besar dibanding kekuatan yang sesungguhnya. Kiai Khalil Bangkalan ditangkap kolonial pada dekade pertama abad ke-20, dan tak lama kemudian dibebaskan (Abdurrahman Mas’ud 2004: 175). Namun, perlawanan terorganisasi di awal abad ke-20 dilakukan terutama oleh gerakan-gerakan Sarekat Islam (SI), seperti terjadi di Sapudi, Sumenep, pada tahun 1913 dan di Duko, Pamekasan, pada tahun 1919, dimana tokoh SI di dua daerah itu juga akhirnya ditangkap (Kuntowijoyo 2002: 511-523).
Meskipun seringkali menderita kekalahan, api perlawanan ulama terhadap pemerintah kolonial tak pernah padam. Hingga pertengahan abad ke-20, perlawanan terus dilancarkan, diperkuat dengan organisasi dari tingkat lokal hingga nasional. K.H.A. Djauhari Chotib dari Prenduan, Sumenep, misalnya, mendirikan sejumlah organisasi. Pada tahun 1947, Kiai Djauhari membuka cabang Hizbullah di Prenduan. Didirikan pada tahun 1944, Hizbullah adalah organisasi militer pemuda Majelis Muslimin Indonesia (Masjumi), organisasi yang berpengaruh secara nasional kala itu (Huub de Jonge 1989: 256). Di samping itu, Kiai Djauhari mendirikan Angkatan Muda Prenduan (AMP), Barisan Sabilillah, Barisan Keamanan Rakyat (BKR), Keamanan Nasional Indonesia (KNI), dan Barisan Pertahanan Rakyat Indonesia (BPRI). Semua ini dilakukan Kiai Djauhari untuk memobilisasi pengikutnya bergerilya melawan pasukan kolonial. Berkali-kali melakukan perlawanan antara tahun 1940-1950, Kiai Djauhari akhirnya ditangkap dan dipenjara berturut-turut di Sumenep, Pamekasan, Bangkalan, dan Surabaya (Jamaluddin Kafie et all. 1997: 44-50).
Dalam pada itu, tahun 1947 adalah tahun yang mencekam di Guluk-guluk, sekitar 15 km arah utara Prenduan. Pertempuran melawan Belanda di bawah komando K.H. Abdullah Sajjad segera akan pecah. Kiai Abdullah menghentikan untuk sementara aktivitas pendidikan di pesantren Annuqayah yang dipimpinnya. Komandan Laskar Sabilillah ini memobilisasi pengikutnya dan mengatur strategi perang. Pada mulanya, pasukan Laskar Sabilillah berhasil menahan pasukan Belanda masuk Guluk-guluk. Tapi pada suatu malam lepas Maghrib, ketika dia menerima sejumlah tamu di rumahnya, mendadak sembilan serdadu kompeni masuk dan menangkap paksa Kiai Abdullah. Anak pendiri pesantren Annuqayah, Kiai Syarqawi, ini kemudian diseret ke Kemisan, 1 km utara pesantren. Kiai Abdullah mencegah orang-orang mengawalnya. Dan, Minggu ketiga bulan Oktober 1947 itu benar-benar mencekam: Kiai Abdullah Sajjad gugur di ujung bedil tentara Belanda di lapangan Kemisan (Abdurachman 1988: 68; Bisri Effendy 1990: 58; Syafiq 2006: 44-17).
Kemarahan dan kebencian rakyat terhadap pemerintah kolonial dan kolaborator lokalnya terus memuncak, apalagi dengan tewasnya ulama mereka dalam pertempuran melawan kaum kolonial. Maka perlawanan sebisa mungkin terus dilancarkan. Bagaimanapun ulama adalah lingkaran pesantren yang kian luas, sehingga meskipun kerapkali menderita kekalahan terhadap lingkaran kolonial yang lebih kuat, mereka tidak mudah menyerah. Lebih dari itu, kemarahan dan kebencian tak hanya diekspresikan melalui pertempuran, melainkan juga melalui dunia simbolik, yaitu membangun simbol-simbol identitas mereka sendiri, yang secara diametral berbeda dengan simbol-simbol identitas penguasa kolonial. Inilah perlawanan kultural terhadap kaum kolonial.
Dunia simbolik tersebut setidaknya meliputi pendidikan, basis geografis, keilmuan, pakaian, dan penguasaan bahasa asing (lihat tabel 2). Simbol-simbol identitas lingkungan pesantren adalah langgar, pondok atau pesantren (pendidikan), desa (basis geografis), ilmu agama Islam (keilmuan), sarung dan songkok (pakaian), dan bahasa Arab (bahasa asing). Berbanding terbalik dengan itu, simbol identitas lingkungan kolonial adalah sekolah model Barat (pendidikan), kota (basis geografis), ilmu umum (keilmuan), pantalon, celana, dasi, jas (pakaian), bahasa Belanda (bahasa asing). Simbol-simbol identitas adalah pagar pembatas yang membedakan sekaligus memisahkan sejauh mungkin dua lingkungan masyarakat (pesantren dan kolonial) yang tak mungkin berdamai dalam hal apa pun.
Tulisan bersambung: