Suatu penampilan bentuk sampai hakikat sehingga bisa menyebutnya tanggap atau tidak, tentu perlu perangkat yang seimbang, perlu analisis dan kajian tingkat relevansinya, sehingga nantinya dalam menentukan sikap budaya, tidak terperangkap sikap apriori. Contoh misal; falsafah (budaya): bapa’ babu’ guru rato dapat dipahami sebagai wilayah yang disakralkan, karena didalamnya banyak mengajarkan nilai etika dan estetika dalam perilaku kehidupan di masyarakat. Namun dalam sisi yang lain, ada pihak menyebutnya sebagai bentuk pengebirian, karena akan membatasi keleluasaan melakukan tindakan dalam sebuah sistem di masyarakat.
Demikian pula dengan falsafah abantal omba’, asapo’ angen; lebih bagus pote tolang, etembang pote mata, dan seterusnya, semua mempunyai nilai dan makna, namun tidak semua pula dapat diterapkan dalam kondisi masyarakat sekarang ini. Lalu apa gerangan yang terjadi dari fenomena tersebut? Persoalannya sekarang, bagaimana dalam memilah sisi mana yang tanggap jaman, dan sisi mana pula sudah tidak patut lagi dikembangkan oleh masyarakat etnik Madura.
Nilai-nilai lokal tersebut dicari relevansinya dan diterapkan pada sarana baru kekinian. Perihal sarana inipun kiranya patut memperhatikan sarana yang sejak lama ada di dalam masyarakat, yaitu institusi masyarakat sebagai kekuatan masyarakat yang nantinya menjadi intrumen penggerak melalui kekuatan dasar piramida masyarakat. Dengan menggunakan (memanfaatkan) seni tradisional untuk menjawab tantangan kekinian dan keterpurukan, ini juga merupakan ujud kongkrit dari revitalisasi seni tradisional.
Mari Bersama-sama Melestarikan Nilai & Budaya Madura..
Tim NyapsaB.org [Pelestarian Nilai & Budaya Madura]