Konon, kata sahibul anekdot, BJ Habibie gembira disambut luar biasa di Madura. Di sepanjang jalan, berjajar umbul-umbul sangat tinggi. Sambil melihat ke ujung atas umbul-umbul, Habibie bertanya pada pejabat lokal: “Berapa meter tinggi umbul-umbul ini?”
Si pejabat lokal memanggil asisten dan disuruh mengukur. Si asisten sontak mengambil meteran dan memanjat tiang umbul-umbul. Belum mencapai setengahnya tiang itu sudah doyong hingga si asisten nyaris jatuh.
Presiden Habibie segera menyuruh si pemanjat turun. Ia lalu mengajari bagaimana cara mudah mengukur tinggi. “Kamu cabut umbul-umbulnya, rebahkan di tanah, tarik meteran dari ujung yang satu ke ujung lainnya.
Ini tidak akan membahayakan,” jelas BJ Habibie.
Si Madura tentu saja tidak bisa mencerna jalan pikiran presidennya.
“Bapak ini gimana to? Tadi tanya tingginya, kan? Kalau tinggi itu dari bawah ke atas. Kalau direbahkan, itu namanya panjang. Seperti manusia, kalau masih hidup yang diukur tingginya, kalau sudah mati, sudah direbahkan, yang diukur panjangnya…!”
Kita tahu apa yang ingin disampaikan oleh anekdot “profesor versus orang Madura” ini. Penjelasan cerdas tentang logika elite yang sering nggak nyambung dengan logika rakyat.
Presiden Yudhoyono juga pernah menuai anekdot serupa ketika menjelaskan letak geografis Indonesia yang berada di antara dua lempengan rawan benturan (Indo Australia dan Pasifik) untuk “menangkis” isu yang mengidentikan dirinya dengan bencana alam.
bagus sekali joke nya setuju; siip, sip jokenya